Beberapa hari yang lalu negeri
ini digoncangkan dengan dikeluarkannya keputusan tentang “Full Day School”
oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Dunia pendikan memang penting untuk
terus berkembang dan perlu menjadi perhatian kita semua. Sebab dengan
pendidikan, kita
dapat memberikan kontribusi kepada negara dengan penuh bijaksana dan sesuai
tujuan Undang-undang Dasar (UUD
45).
Full day school sebenarnya memiliki tujuan
yang baik, bahkan salah satu tujuannya adalah pemberian jam tambahan
(terutama untuk pendidikan karakter). Menariknya, dalam jam tambahan tersebut
tidak kemudian
membuat para siswa bosan. Sebaliknya,
siswa justru didorong untuk bisa aktif dan kreatif dalam suasana yang
menggembirakan. Dalam arti lain, bisa berupa kegiatan ekstrakulikuler.
Pro dan Kontra
Pro
dan kontra terjadi
akibat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, MAP memutuskan akan
menerapkan full day school langsung di
tahun pelajaran
2017/2018. Tentu keputusan ini sangat menyulitkan,
sebab banyak hal yang semestinya dipersiapkan terlebih dahulu oleh
masing-masing sekolah/madrasah dan lembaga terkait lainnya.
Apabila kita
amati perkembangan berita yang ada di media sosial, tampak bahwa banyak ormas
maupun lembaga yang menolak kebijakan itu. Salah satunya Nahdlatul Ulama (NU) yang
merupakan ormas paling kuat menolak. Berbagai statemen pengurus maupun tokoh-tokoh
NU telah disampaikan secara luas diberbagai media.
Sedangkan Muhammadiyah menyatakan siap mendukung
program yang diagendakan Mendikbud. “Muhammadiyah siap pasang badan demi kesuksesan Full
day school” demikian pernyataan Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, Ketum PP. Muhammadiyah yang direkam banyak
media.
Menyikapi pro-kontra yang kian ramai, Presiden RI, Joko
Widodo pun ambil sikap. Ia memerintahkan kementerian terkait untuk melakukan
tata ulang atas kebijakan 5 hari sekolah. Langkah ini diambil sebagai respon
atas aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Mengutamakan Pendidikan Pesantren
Terlepas dari apakah kebijakan full day school
akan tetap diterapkan, pondok pesantren telah lama menjalankan model pendidikan
tersendiri. Para santri (siswa) di pesantren terbiasa mengikuti kegiatan dari
pagi sampai malam. Meskipun jadwal kegiatan terbilang padat, waktu untuk
istirahat tetap cukup. Sehingga santri-santri bisa enjoy menjalaninya.
Pesantren menyediakan pendidikan formal mulai tingkat
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Bahkan
tidak sedikit yang kemudian mendirikan perguruan tinggi. Selain jadwal
pendidikan formal, para santri juga belajar di pendidikan nonformal, yakni
Madrasah Diniyah (Madin)
Melalui pembelajaran di Madin, santri-santri mendapat
keilmuan plus. Artinya, memperoleh wawasan khas warisan (keilmuan) ulama
nusantara maupun mancanegara yang tidak ada dalam kurikulum pendidikan formal. Selama
ini di pesantren telah berlaku secara rutin; untuk kegiatan formal berlangsung
pagi sampai siang hari, sedangkan nonformal dilaksanakan sore atau malam hari.
Maka mahfum adanya kalau (sebenarnya) pesantren justru
sejak lama sudah melangsungkan full day school. Adapun kondisi anak didik
juga terlihat dapat lebih berkarakter. Rasa-rasanya Kemendikbud penting juga
menyerukan; ”Mari ramai-ramai nyantri di pesantren agar generasi bangsa
ini kian berkarakter” mantap!.
*Bani Idris, SH (Santri PP. An Nur dan sedang menempuh
S2 di UIN Suka)
Post a Comment