“Getaran ayat-ayat al-Qur’an akan
mengalir bersama aliran darah ke sekujur tubuhnya orang yang gemar membaca
al-Qur’an. Kesenangan membaca al-Qur’an akan menciptakan gen-gen positif yang
kelak jika mempunyai anak akan diturunkan kepada anak-anaknya, sehingga akan
menjadi anak yang berkepribadian baik” (hal. 18).
Demikianlah salah satu untaian hikmah
yang ditulis oleh KH. Muslim Nawawi dalam buku Ngopi, Ngaji, Hepi. Tulisan-tulisan
yang terdapat di buku tersebut merupakan kumpulan dari status beliau di facebook.
Sudah pasti ratusan like dan komentar memenuhi “dinding” facebook
beliau. Banyak juga yang nyuwun izin untuk ikut share status
beliau.
Sebagai guru bagi ribuan santri,
nampaknya beliau terus konsisten menebar kebaikan. Beliau berusaha teguh
mendampingi para santri dalam berbagai lini, termasuk yang gemar update
status di facebook. Apa yang beliau teladankan adalah langkah strategis
agar santri-santri tidak asal nyetatus.
Beliau pernah berpesan bahwa “nyetatus
yang penting-penting, bukan yang penting nyetatus” (Nah, masih tetap
mau nyetatus yang lebay-lebay? Hehee). Menarik rasanya kalau bisa
mengikuti status-status beliau, apalagi status yang sudah dibukukan ini. Kita akan
banyak menemukan, lalu memetik hikmah dari beragam tulisan yang tersaji.
Mari kita cermati tulisan berikut:
“Orang yang mendengarkan al-Qur’an dan
menghayatinya tentu dalam hatinya akan merasa dan mengetahui secara aksiomatik
(kebenaran yang tak terbantahkan kesahihannya), bahwa yang sedang ia dengar
adalah kalamullah. Sebab rasa kagum dan aura wibawa yang tercermin darinya
tidak mungkin datang dari selain keagungan dan kewibawaan ke Ilahiyyahan-Nya” (hal. 16).
Adakalanya beliau juga merenungkan
pengalaman harian yang menyentuh hati seperti tulisan di hal. 58.
“Belum genap sebulan, aku telah mendapat
tiga undangan wisuda santri Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ), dan Alhamdulillah
ketiga undangan tersebut dapat kuhadiri semua sebagai bentuk apresiasiku
terhadap para asatidz dan asatidzah yang telah mengabdikan dirinya sebagai
khadimul Qur’an.
Menurutku acara wisuda santri TPQ itu hal
yang dilematis, yakni jika mereka yang khatam tidak kita wisuda, dibilang kita
tidak mengapresiasi keberhasilan anak, tapi jika kita mewisudanya, biasanya
akan terjadi penurunan kebiasaan baik.
Contoh, dulu sebelum kita mewisudanya,
mereka rajin berangkat mengaji dan berjama’ah serta mudarosah bakda Maghrib dan
Subuh di rumah. Tetapi setelah mereka diwisuda, kebiasaan baik tersebut sedikit
demi sedikit ditinggalkannya dengan alasan sudah diwisuda. Seolah-olah dengan
diwisuda maka tugas mempelajari al-Qur’an juga sudah tamat.
Hal ini persis seperti mahasiswa yang
sebelum diwisuda ia rajin membaca, menulis dan berdiskusi, tapi setelah
diwisuda kebiasaan baik yang telah diwiridkan lambat laut ditinggalkan. Inilah PR
besar buat kita semua, khususnya buat para pengelola TPQ untuk memikirkan dan
merumuskan Pendidikan Pasca (Sarjana) TPQ.”
Buku ini kecil namun penuh pesona. Ada 50
mutiara hikmah didalamnya, terutama tentang betapa mulianya menjalani hidup “bersama”
al-Qur’an. Akhir kata, mari ngopi dan mengaji dengan hepi. Salam (Top’99).
Post a Comment