Dari pesantren aku
belajar, untuk pesantren aku mengajar.
Sungguh, betapa banyaknya
pengalaman indah di pesantren. Sebuah tempat istimewa bagi para penuntut ilmu. Setiap
harinya santri-santri (murid) diberi pemahaman mengenai ajaran Islam. Mulai tingkat
yang paling dasar, sampai tingkatan atas yang bisa terus berproses. Kyai-nyai
(guru-guru) tidak hanya sebatas mengajar, tetapi lebih dari itu. Beliau-beliau
memiliki kemampuan untuk membimbing; mendampingi/membina santri selama tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) di pesantren. Pagi-siang-sore-malam merupakan
waktu berlangsungnya majelis ilmu. Artinya, hampir setiap saat terjadi perjumpaan
antara guru dan murid. Pada sisi inilah yang kemudian menghadirkan “keakraban”
tersendiri.
Pernyataan; “Dari pesantren aku belajar, untuk pesantren aku mengajar” dimaksud
untuk mewakili bentuk jalinan silaturahmi yang lahir dari sanubari sebagai
santri. Terlebih dengan adanya slogan; “kapan
pun, dan dimana pun tetap santri”, menghadirkan rasa haru yang mendalam. Sepakat
atau tidak mengenai hal ini tentu pembaca yang budiman bebas menentukan (pastinya
saya termasuk yang sepakat). Monggo mawon, selagi belum ada undang-undang
yang mengaturnya, hehe.. ..
Sulit untuk menjelaskan, tetapi sepertinya
memang ada faktor x yang menggerakkan hati untuk “hidup” di alam pesantren. Terbukti
dengan mengambil keputusan kembali ke pesantren, sesuatu yang selama ini terasa
“hilang” lantas kembali “ada”. Betapa rasa memang sulit dijelaskan. (TOP'99)
Post a Comment