Sang cahaya yang dinisbatkan untuk
guru besar kita, guru jasmani serta rohani kita, almarhum al-maghfurlah simbah kiai haji Nawawi Abdul Aziz
Al Hafidz merupakan sebuah pertanyaan dibenak saya, darimanakah istilah
itu berasal?.
Tanpa bertanya dan tabayun, saya berusaha mencocokkan dengan apa yang saya ketahui
tentang cahaya tersebut.
Sebagaimana ilmu yang masih terus dipesankan oleh mbah Moen (KH. Maemun Zubair) Sarang hafidzahullah yang
bernama ilmu titen.
Sudah tidak asing lagi bagi kita atau
bahkan hafal sekali qosidah solawat badar, salah satu baitnya berbunyi :
أنت شمش أنت بدر # أنت
نور فوق نور
Yang artinya kurang
lebih :”Engkaulah sang mentari, engkaulah sang purnama # engkaulah cahaya di atas cahaya”. Pujian dari pengarang
solawat badar ini untuk kekasihnya, juga kekasih kita, Baginda Nabi besar
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, tak ada yang sebesar dan seterang
serta semanfaat daripada mentari di siang hari, tak ada yang seagung dan seelok daripada sang rembulan
dimalam hari. Bahkan, mentari dan rembulan masih kalah
cahayanya ketimbang cahaya Rosul shollallahu ‘alaihi wasallam, cahaya di atas cahaya lainnya, begitulah hakikat
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan oleh pengarang simtudduror dalam kitab maulidnya,
beliau menceritakan :
عن جابر بن عبد الله قال:قلت يا رسول الله بأبي
أنت وأمي أخبرني عن أول شيء خلقه الله تعالى قبل الأشياء. قال: يا جابر إن الله خلق قبل الأشياء نور
نبيّك من نوره
Diriwayatkan dari
sahabat Jabir bin Abdillah rodliyallahu
‘anhu berkata : saya bertanya kepada
Rosulullah, “Wahai Rosulullah, ayah ibuku sebagai tebusan engkau,
beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama kali Allah ciptakan
sebelum segala sesuatu yang lain, lalu Rosulullah menjawab : “Wahai Jabir,
sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu telah menciptakan nur
(cahaya) nabimu, Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dari
cahaya-NYA(Allah)”.
Oleh
karena itu, perlu kita ketahui bahwa hakikat dunia
ini diciptakan karena Rosulullah, beliaulah sang cahaya sebenarnya, lantas apa
hubungannya dengan guru kita? Al ‘ulama warotsatul anbiya’ (ulama’ adalah pewaris para nabi), tidak hanya mewariskan tekad, semangat, ilmu,
tekun, istiqomah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, seorang ulama’ juga mewariskan cahaya dari
Rosulullah, seperti Rosulullah yang hadir ditengah para sahabat menerangi hati
mereka, begitupun juga simbah kiai Nawawi hadir ditengah kita untuk menerangi hati kita yang banyak noda hitam, menerangi
dengan kharisma beliau, senyum beliau, ketekunan
beliau, bahkan dengan doa-doa beliau.
***
Dikisahkan
bahwa dulu ada seseorang yang dicalonkan lurah oleh warganya, sebut saja
namanya bapak Tachsis. Namun, ia belum
mengabulkan permintaan warga sebelum ia bertanya dan meminta petunjuk dari sang guru, dan ternyata yang dimaksud guru tersebut tak lain adalah simbah kiai Nawawi. Singkat cerita, pak Tachsis sowan (menghadap) pada mbah
kiai untuk meminta arahan dari beliau. Simbah bertanya “calon lawanmu sopo?” (calon lawanmu siapa?)”, ia menjawab “si Fulan tiyang
non muslim yai” (si fulan, dia orang non muslim yai). Lalu simbah pun dawuh (menyuruh)
“wajib awakmu nyalon lan kudu dadi!” (wajib bagimu mencalonkan diri dan harus jadi), lantas ia pun mantap dan pulang dengan hati
lega.
Hari penentuan pun tiba, hiruk pikuk warga mewarnai proses pemilihan.
Pada akhirnya, bapak Tachsis terpilih menjadi lurah. Selain kemenangan
yang diperoleh dari jumlah suara terbanyak, terdapat pula barokah kiai. Sebab,
nasihat, dukungan, dan doa
dari simbah kiai juga berpengaruh
besar dalam kemenangan tersebut. Begitulah ahlul Qur’an, dawuh
dan keputusannya dapat menjadi
sandaran
bagi hati yang bimbang.
Demikian juga
apa yang terjadi pada seorang anak muda bernama Lukman. Bahwa suatu hari almarhum
al-maghfurlah simbah
kiai haji Mufid Mas’ud (beliau masih
kerabat dengan mbah kiai Nawawi dari jalur istri) yang merupakan kiai hafidz dan ahlul Qur’an pernah berkunjung ke pesantren tempat Lukman mondok. Saat itu Lukman masih SMA dan
belum hafidz. Seperti biasa,
seusai memberi pengajian dan ceramah, seluruh santri bersalaman ingin mendapatkan
barokah beliau kiai Mufid. Seluruh
ustadz juga tak kalah untuk nyadong barokah beliau. Sampai tiba giliran Lukman bersalaman, ia
dihentikan sejenak oleh mbah kiai, lalu dicium keningnya dan berdoa untuknya.
Lukman saat itu belum mengetahui apa-apa, ia hanya nderek saja apa yang dilakukan simbah
kiai padanya. Hingga akhirnya sampai
sekarang -setelah lama beliau wafat-, Lukman pun telah menjadi hafidz yang
bacaannya enak, pelan dan suaranya merdu.
Lukman mendapatkan
sanad al-Qur’an dari salah satu qurro’ Syam, syekh Mahir Al Munajjid hafidzohullah.
Dan saat ini ia masih dalam proses menyelesaikan qiro’ah ‘asyroh (yang
jarang ada di Indonesia) bersama syekh Mahir tersebut. MasyaAllah, mungkin itulah karomah beliau, mengetahui apa
yang akan terjadi dimasa yang akan datang, atau bahasa jawanya; “ngerti sakdurunge winarah”. Begitu juga saat beliau jalan-jalan di sekitar
pesantren
berhenti sejenak di sebuah lahan kosong. Beliau dawuh
bahwa tanah ini esok akan didirikan bangunan pesantren. Dan ternyata benar, saat ini telah berdiri pesantren seperti dawuh beliau itu.
Itulah
nur, itulah cahaya yang Rosulullah wariskan kepada para ulama’ kita, maka
pantaslah sosok seperti simbah kiai haji Nawawi disebut sang cahaya. Sering tersirat dalam benak kita, bahwa
kita memang ingin sekali menjadi santri beliau, baik santri di dunia maupun santri di akhirat nanti. Hal terpenting adalah tidak cukup kita hanya sebatas mendaftar sebagai santri, sowan ingin mengaji akan tetapi tingkah laku kita justru mencoreng nama baik guru kita maupun keluarga pesantren. Oleh karena
itu, dibutuhkan sebuah pengakuan atau
kepantasan bahwa kita itu memang pantas menjadi santri beliau.
Suatu
hari -sebut saja namanya- Agus, mendambakan bermimpi bertemu
guru-gurunya, karena sudah lama ia tak bertemu dengan gurunya. Lalu ia pun
memperbanyak sholawat agar menjadi wasilah baginya untuk bertemu gurunya dalam
mimpi. Disinilah keajaiban sholawat terbukti, apa susahnya sholawat coba? Kita
hanya sholawat sekali, Allah membalasnya sebanyak 10x, tak perlu berberat hati untuk mengamalkannya. Atau mungkin
banyaknya masalah yang kita alami karena kita sering melupakan Rosulullah,
mengingatnya kala malam jum’at itu saja sambil malas-malasan. Nas alullahal
‘afwa wal ‘afiyah. Akhirnya Agus bisa bertemu dengan gurunya yang tidak lain
adalah mbah kiai Nawawi. Dalam mimpi tersebut, mbah kiai tampak
sedang mengadakan
pengajian di ndalem (rumah/kediaman) beliau. Agus bersama temannya turut serta mengikuti pengajian sampai selesai. Saat
tiba waktunya bersalaman dengan mbah kiai Nawawi, Agus mendapat giliran salaman paling akhir karena kebetulan posisi duduknya berada di belakang. Inilah yang kemudian perlu digaris bawahi;
bahwa simbah nawawi ndangu (menanyai), bertanya kabar, seakan simbah Nawawi kenal dan hafal siapa Agus
itu. Betapa senangnya Agus kala itu. Bukan
hanya karena mimpi bertemu simbah,
tapi karena simbah mengakui ia sebagai santrinya.
Agus pun teringat
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dalam kitabnya, bahwa suatu hari Rosulullah berkata kepada
sahabat Ubay bin ka’ab, “Sungguh Allah
telah memerintahkan kepadaku untuk mengajarimu al-Qur’an”, lalu Ubay bertanya “Apakah Allah menyebut namaku?”, kemudian Rosulullah bersabda lagi “Ya”. Lantas sahabat Ubay pun menangis,
menangis bahagia karena namanya disebut oleh Allah subhanahu wata’ala.
Coba
bayangkan kawan, nama kita disebut oleh Tuhan semesta alam melalui lisan
Nabi-NYA, bagaimana perasaan kita?.
Bagaimana rasanya kalau nama kita esok dipanggil oleh guru kita saat diakhirat,
diajak masuk surga?. Semoga kita semua
senantiasa terus berusaha semaksimal
mungkin untuk menjadi santri yang pantas beliau banggakan, yang menjaga dan
mengamalkan apa yang beliau wasiatkan, beliau tidaklah pergi jauh, beliau ada
dihati kita. Jikalau kita tak mampu melihat beliau, mungkin banyak kesalahan
ada pada diri kita, akan tetapi kalau kita mampu melihat beliau itu murni
karomah dan barokah beliau. Wallahu a’lam.
فإذاصحوت فأنت أول خاطري
# وإذاغفا جفني فأنت الأخر
“Saat aku mulai terjaga, bayangmulah yang pertama kali terlintas
dalam pikiranku, pun saat aku mulai terlelap,
engkaulah yang terlintas dalam khayalku.”
Teruntuk engkau wahai Rosulullah,
teruntuk engkau mbah Nawawi-ku, engkaulah sang cahaya.
*Ibnu Hajar al Jugjawiy.
Post a Comment