Dahulu, waktu saya masih kecil
ketika saya bertanya dengan nenek saya “apa sih islam itu, mbah?”.
Jawabannya adalah akronim dari Isya’ Subuh Luhur Ashar dan Maghrib menjadi
ISLAM. Logis banget bagi anak-anak seumuran 7-10 tahun. Mbah saya dulu
menambahi bahwa kalau ngaku Islam berarti harus melaksanakan shalat lima waktu
itu, jangan sampai jadi ISLA saja atau LAM saja atau malah jadi ISIS (isya
shubuh dan isya shubuh).
Sekarang, di era yang serba
gugling menggugling dan belajar agama semudah merayu dedek-dedek hijaber dengan
kata uhibbuk fillah, makna Islam menjadi sebuah lembaga formal yang
mengharuskan pemeluknya untuk berada di bawah bendera khilafah Islam. Bahwa
hukum Islam harus ditegakkan, hijab harus disyari’atkan, dilarang taqlid tapi
harus mencari sumbernya sendiri dari al-Qur’an dan hadits (meskipun pake
terjemahan ala gugel.), dan yang paling kronis adalah sunnah nabi harus satu
model saja yakni segala sesuatu yang dilakukan oleh nabi, termasuk memakai
gamis di atas mata kaki, berjenggot panjang, dan berjidat hitam. Jadi segala
model Islam yang selain diadopsi dari Arab hukumnya adalah bid’ah dan dhalalah
dan finnar. Masya allah…
Di kota kelahiran saya, kota
Kudus ketika datang bulan haji masih tidak berani menyembelih sapi (padahal
secara syar’i sapi itu halal dimakan, kan?. Tapi bukan halal dikorupsi, lho
ya.). Konon, untuk menghormati umat Hindu di Kudus dahulu yang mayoritas, Sunan
Kudus (baca: Syaikh Ja’far Shadiq) mengeluarkan fatwa “darah sapi tidak boleh
mengalir di kudus.” Karena dawuhnya wali masyarakat Kudus sampai sekarang tidak
berani melanggar fatwa itu, sebagai ganti sapi mayoritas masyarakat Islam di
Kudus kurban dengan kerbau, meskipun umat Islam di Kudus telah menjadi
mayoritas. Fatwa tersebut kalau dihadapkan kepada Islam sekarang jelas tidak
logis ya, malah bisa dianggap kafir karena mengharamkan sesuatu yang
halal. Na’udzu billahi min tilka…
“Wajah Islam sekarang harus
satu, tidak ada islam nusantara, jika dipaksa ada nanti akan ada islam jawa,
islam sumatera, islam sulawesi, dst., yang justru akan memecah belah islam
bukan untuk mempersatukannya. Padahal wa ma arsalnaka illa rahmatan lil
‘alamin, dan Nabi itu di Arab.” Begitu kata dedek gemes yang mewajibkan
Islam sebagai lembaga, sistem, hukum, dan bagi yang tidak seperti itu
adalah thaghut dan wajib dibumi-hanguskan. Islam adalah kita,
katanya.
Saya sepakat dengan Agus Sunyoto
(pengarang buku Atlas Walisongo) yang mengatakan bahwa orang Islam yang tahunya
hanya ada satu model saja cara berislam, tentu pendidikan mereka hanya sebatas
sekolah formal yang selalu berseragam, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA sekolah
mereka selalu diwajibkan untuk seragam, dan ketika ada beberapa siswa-siswi
yang tidak pake seragam sesuai dengan harinya akan dihukum, diolok-olok, bahkan
ada yang disuruh pulang sama gurunya. Pengalaman tersebut dibawa sampai ia
dewasa di perguruan tinggi, bahkan dibawa sampai cara beragama, bahwa yang
tidak sama dengannya adalah salah, dosa besar wajib dihukum dan disadarkan
(ditaubatkan). Ini baru beda seragam, ndah neyo sak umpamane bedo
agomo?. Mesti dadi FAKtuluh FAKtuluh…
Benar kalau Islam itu kita,
okelah saya setuju. Tapi kalau ada orang Islam Nusantara berangkat jum’atan
pakai pakaian batik dan penutup kepala blangkon (bukan surban dan umamah)
jangan dianggap tidak sesuai sunnah nabi lah, apalagi sampai sesat, janganlah…
ya sebut saja orang tidak waras saja atau tidak punya kerjaan atau buat
sensasi, toh mereka tidak akan sakit hati kalau cuma dianggap tidak waras oleh
para aktifis khilafah Islam.
Tapi yang paling penting di sini
adalah syariat Islam itu menutup aurat, mau pakai batik, jas, pakaian adat,
gamis itu kan hanya pilihan, alternatif, modelnya saja, inovasi yang berbeda.
Jika dipaksakan pakai gamis sebagai syari’at karena nabi pakai gamis, bagi
orang jawa yang mata pencahariannya di sawah, masa iya pakai pakaian gamis
putih dan surban sambil nenteng cangkul?.
Islam Nusantara ya begitu,
sesuai dengan tempat di mana Islam berada, dan memegang tradisi yang tidak
bersimpangan dengan syari’at Islam, kalau tradisinya itu memakai pakaian adat
seperti koteka ya nanti dulu, ya. Tidak perlu salah-sesat mengkafirkan kalau
belum jelas salah-sesat dan kafirnya. Allah kan udah bilang wa la
taqulu liman alqa ilaikum as-salama lasta mu’minan. Silahkan buka
terjemahnya saja QS. an-Nisa’: 94. Aktifis khilafah Islam tidak paham tanpa
terjemah, kan?(Musthofa M Thoha)
Post a Comment