Sedikit Cerita...
Tulisan
ini, penulis awali terlebih dahulu dengan cerita tentang sampainya informasi
wafatnya Nyai Walidah (tentunya teman-teman yang lain juga memiliki cerita
tersendiri), khususnya para alumni, informasi wafatnya mbah nyai ini
begitu cepat. Karena pada era teknologi saat ini informasi bisa dengan cepat di
peroleh. Pada waktu itu penulis berada di negeri seberang Kuala Lumpur
Malaysia, berangkat lewat Entikong-Tebedu 19 Mei 2011 melalui jalur darat (ngebis)
perjalanan kurang lebih 6 jam dan sekitar 4 jam kemudian sampai di air port Kucing Malaysia Timur (berbatasan langsung
dengan Kalimantan Barat), istirahat sebentar kemudian langsung menuju Kuala
Lumpur. Setelah beberapa hari disana (usai berkunjung ke Selangor, Serdang,
KLCC dan lain-lain), penulis berkunjung ke tempat teman yang bekerja di sekitar
Kuala Lumpur. Kebetulan kartu seluler yang dari rumah masih aktif walaupun
tidak bisa digunakan di Malaysia, kartu tersebut penulis tinggal dikontrakan
kakak sepupu penulis. Sekitar 3 hari di tempat teman, penulis di kabari Kakak
sepupu bahwa HP-nya mendapat SMS beruntun (mungkin sms berantai yang dikirimkan
teman-teman seangkatan), karena kakak sepupu penasaran dengan HP yang begitu
banyak menerima SMS akhirnya di cek, ternyata isi SMS-nya berita tentang
wafatnya mbah Nyai Walidah dan informasi ini disampaikan kepada penulis.
Izin
tinggal di Malaysia hanya sekitar 4 hari lagi (visa berkunjung di Malaysia
hanya 1 bulan dan 3 hari sebelum tanggal izin berakhir harus sudah keluar dari
Malaysia kalau tidak diperpanjang lagi diimigrasi), dengan berbagai pertimbangan
penulis memutuskan untuk pulang (kalau
pulang langsung ke Pontianak, kemungkinan besar tidak bisa ta’ziyah ke Jogja
karena berbagai faktor, utamanya faktor ekonomi, hehe.) akhirnya dengan
modal nekat memutuskan untuk langsung terbang dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta
dengan niat ta’ziyah, dan Alhamdulillah 7 hari setelah wafatnya mbah
nyai tanggal 14 Juni 2011 penulis sampai di Yogyakarta. Kemudian bersama
teman-teman seangkatan, penulis bertahan di Yogyakarta hingga hormat 40
harinya mbah nyai Walidah. Sudah 6 tahun silam dan sekarang mbah
Nyai Walidah sudah haul yang ke-6 sekaligus Silaturahmi Nasional (Silatnas), Alhamdulillah
dan insyaallah penulis masih bisa hormat di majlis haul.
MENGHADIRI
MAJLIS HAUL: Sebagai Ekspresi Kecintaan pada Guru
“Ya Allah
berikanlah kami rezeki kecintaan kepada-Mu
dan kecintaan terhadap
orang-orang yang berjasa kepadaku
sebagai
kecintaan terhadap-Mu”
(HR. Tirmidzi)
Menghadiri
majlis haul para ulama terutama seorang guru (yang telah mendidik dan
mendoa’akan yang terbaik buat para santrinya) merupakan salah satu bentuk hormat
ta’dzim dan kecintaan kita pada sang guru. Tidak usah merasa malu dan
rikuh karena mungkin pada waktu mondok dulu kurang tertib, kurang alim dan lain
sebagainya. Yakinlah kalau kita sudah pernah di doakan yang terbaik oleh guru
kita walaupun mondoknya hanya beberapa saat. Oleh sebab itu kita harus
mengingat guru kita (apalagi kehadirannya diinginkan oleh sang guru-seperti
silatnas- kalau tidak ada kendala dan faktor yang menghalangi mestinya kita
hadir, jawani; nek ra disempet-sempetke ya ra bakal sempet, karena
kesibukan akan selalu ada). Momen haul adalah momen yang tepat untuk mengingat
sang guru (walau tidak hanya haul saja kita ingat guru) dengan momen ini kita bisa
mengingat guru yang telah membimbing dan mendo’akan kita apalagi sampai
menghadiri majlis haul, kita bisa me-refresh memori masa lalu untuk
dijadikan kenangan, renungan dan pelajaran. Dari aspek spiritual kita bisa
memperbaharui niat ((تجديد النية
mungkin kita sudah mulai lupa dengan tradisi keagamaan yang pernah dilakukan di
pondok, kebiasaan beribadah, tradisi tolong menolong, tradisi menghormati dan
lain sebagainya. Melalui momen haul ini kita bisa memperbaharui niat “dimanapun
dan kapanpun kita tetap santri”.
Mengingat
guru itu akan menambahkan barokah (وبذكرهم تتزّل البركة), barokah ilmu, rizki, anak turunan dan lain-lain. Termasuk
mengingat guru adalah membacakan do’a atau mengirimi fatihah sebagai hadiah-ta’dzim
kita kepada sang guru. Dalam dunia thoriqoh orang yang mengirimi fatihah kepada
Nabi itu bagus tapi kalau tidak mengirimi (tidak menyebut guru) terdapat unsur
kesombongan (memilih yang besar/pokok tapi lupa yang kecil/cabang), karena orang
mengetahui Allah melalui guru dan orang mengetahui Nabi itu melalui ulama/guru
dalam kaidah disebutkan;
(لولا المربّ لاما عرفنا ربّ ولولاالعلماء لاماعرفنا
الانبياء)
Kita
bisa mengetahui banyak hal itu melalui seorang guru dan sudah sewajarnya kita
ingat kepada guru kita (disarikan dari pengajian Gus baha’). Selain itu, dalam ‘inayatul
muftaqir bima yata’allaqa bi sayyidina khadir alaihissalam, karya syekh
Muhammad Mahfudz attarmasi, dalam pengantar KH. Maimun Zubair menyebut kita
diperintahkan oleh Allah untuk mencintai orang-orang saleh, cara mencintainya
bisa dilakukan dengan mencari berita-berita tentang mereka, mencari kitab-kitab
atau informasi lainya yang menjelaskan kisah dan teladan mereka, sehingga
menjadi panutan dalam beramal dan berprilaku walaupun kita tidak seperti yang ditempuh
mereka. Kita hanya bisa mengikrarkan kecintaan kita dan semoga Allah memasukkan
kita pada golongan mereka dan bisa berkumpul di dalam surga meski kita bukanlah
tandingan mereka dalam hal derajat. Dalam sebuah syair disebutkan:
أُحِبُّ الصَّلِحِينَ وَلَسْتُ مِنهُم...لَعَلِّى أَن أَنَالَ
بِهم شَفاعةً
Aku mencintai
orang-orang saleh meskipun aku bukan dari golongan mereka
Barangkali saja
aku mendapatkan syafaat karena mereka.
Mengenal
Mbah Nyai Walidah Moenawwir
Nyai. Hj.
Walidah Moenawwir, lahir di Krapyak Yogyakarta pada Jum’at Legi, jam 09.00
tanggal 21 Ramadhan tahun Wawu (1865) atau bertepatan dengan tanggal 28
Desember 1934 M/21 Ramadhan 1353 H. Nyai Walidah adalah Putri dari K.H.M.
Moenawwir bin Abdullah Rasyad bin Basari seorang ulama al-Qur’an Indonesia yang
pertama kali mengajarkan ilmu qira’at sab’ah secara teori dan praktek dan
menjadi rujukan masyarakat nusantara dalam pembelajaran al-Qur’an terutama di
bidang membaca al-Qur’an baik bin-nadzri maupun bil-hifdzi. Nyai Walidah ini
merupakan putri yang ke tiga dari lima bersaudara dari istri K.H.M.Moenawwir yang
kelima yang bernama Nyai Khadijah Hasbullah dari Kanggotan Gondowulung Bantul
Yogyakarta. Namun yang hidup sampai
dewasa hanya tiga yakni; Nyai Walidah (Pengasuh Pondok Pesantren Putri Tahfidz
An-Nur Ngrukem Yogyakarta ), KH. Ahmad (Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul
Qur’an Krapyak Yogyakarta, periode ketiga setelah K.H.R. Abdul Qodir wafat) dan
Nyai Zuhriyah (Pengasuh Pondok Pesantren Maunah Sari Bandar Kidul Kediri Jawa
Timur) ketiga-tiganya hafal qur’an dan menjadi pengasuh pondok penghafal
al-Qur’an. Sedangkan kedua kakaknya (Juwairiyah dan Durriyah) meninggal waktu
kecil. Nyai Walidah hidup dilingkungan pesantren yang berbasiskan al-Qur’an,
artinya keluarga dan lingkungan sangat mendukung Nyai Walidah untuk menjadi
seorang yang ahli Qur’an. Nyai Walidah menghafal al-Qur’an dalam bimbingan
Kakak sendiri (K.H.R. Abdul Qodir sekaligus guru mbah Nawawi Abdul Aziz di
bidang tahfidz al-Qur’an) dan setelah selesai setorannya, Nyai Walidah
melanyahkan hafalan (memantabkan hafalan) selama sepuluh tahun.
Pada tahun 1952
dan bertepatan diusia yang ke-18 tahun, Nyai Walidah menempuh hidup baru
menikah dengan KH. Nawawi Abdul Aziz, pernikahan yang sangat ideal sama-sama
penghafal al-Qur’an dan lebih uniknya adalah satu guru dan jalur sanad
al-Qur’an yakni; Nyai Walidah dan KH. Nawawi sama-sama mengaji al-Qur’an riwayat Hafsh qira’ah Imam ‘Ashim
kepada K.H.R. Abdul Qodir. Usia yang relatif masih muda, Nyai Walidah dengan
Kyai Nawawi terpaut usia 9 tahun. Pertemuan keduanya atas prakarsa K.H. R.
Abdul Qodir yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Nyai Walidah sosok perempuan
yang sabar dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dan mendampingi suami. Kesabaran
Nyai Walidah ini terbukti ketika usia putra pertamanya baru berusia 7 bulan
Nyai Walidah di tinggal suami mondok ke Kudus untuk mendalami ilmu qira’at
Sab’ah (7 bacaan). Umumnya pada usia pernikahan dan putra yang relatif muda
tersebut, masih selalu ingin di dampingi oleh suami, namun dengan kesabaran
Nyai Walidah bisa menjalani kehidupan
rumah tanggga dan mengasuh putra pertamanya sedangkan suaminya berada jauh di
sana. Setelah KH. Nawawi selesai mengaji qira’at sab’ah, Nyai Walidah ikut
suami ke kutoarjo, setelah beberapa tahun kemudian Nyai Walidah kembali ke
Krapyak bersama suami di panggil untuk membantu mengajar al-Qur’an di pondok
pesantren Krapyak karena di tinggal wafat K.H. R. Abdul Qodir dan akhirnya
menyebarkan ilmunya di Ngrukem Bantul Yogyakarta.
Selama di Desa Ngrukem
Nyai Walidah sabar dalam mendampingi suami, berjuang bersama dan mau tinggal di
rumah yang sangat sederhana (rumah yang tidak terlalu besar dan dindingnya
terdiri dari bambu atau gedek) sebelah utara Masjid Ar-ridha, padahal
Nyai Walidah adalah putri seorang kyai ternama di Yogyakarta tapi tetap setia
mendampingi suami dengan kehidupan yang sangat sederhana, mau berjuang bersama
suami. Akhirnya menjadi seorang yang sukses dalam mengabdikan ilmunya di
masyarakat. Sosok perempuan yang sabar dan sederhana itu menurunkan putra-putri
yang hebat dan saat ini meneruskan perjuangan kedua orang tuanya. Hampir
seluruh putra-putrinya mengasuh pondok pesantren yang berbasiskan al-Qur’an.
Karena perempuan yang hebat itu akan melahirkan keturunan yang hebat pula.
Selain itu,
kepribadian Nyai Walidah juga sosok perempuan yang jarang bicara, artinya kalau
berbicara seperlunya dan disegani masyarakat sekitar. Namun, kepribadian Nyai Walidah
yang pendiam tidak menutup pergaulan dengan
masyarakat setempat (Nyai Walidah tetap serawung atau bermasyarakat
dengan masyarakat sekitar). Bahkan apabila ada masyarakat sekitar yang memiliki
hajatan (ewoh) seperti mantenan, kenduren dan lain
sebagainya dan Nyai Walidah tidak sempat hadir untuk membantu (rewang) tetangga
itu. Maka Nyai Walidah meminta pengurus putri untuk membantu tetangga pondok tersebut, terkadang 2-3 hari di
rumah tetangga pondok yang memiliki hajatan.
Keduanya denga
telaten dan istiqomah mengembangkan pengajian al-Qur’an di pesantren yang
dirintis mereka berdua, pengajian al-Qur’an baik Bin-Nadzri (membaca) maupun
Bil-Hifdzi/Ghaib (menghafal). Mbah Nyai Walidah mengampuh santri putri dan Mbah
Nawawi mengampuh santri putra. Mulai dari santri yang mengaji Juz ‘Amma,
Bin-Nadzri sampai Bil-Hifdzi dengan sabar, tekun serta istiqomah dalam
mendampingi para santri terkadang dari habis maghrib sampai jam sepuluh malam,
hanya jeda shalat Isya’ kemudian di lanjutkan kembali, dan kalau bulan puasa
Mbah Nyai Walidah mengimami shalat terawih dengan khataman al-Qur’an (setiap 1
juz/1 ½ juz).
Sistem
pembelajarannya di mulai dari surat al-Fatihah, Lafadz Tahiyyat
sampai dengan shalawat Ala Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas
sampai surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan
ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas. Sistem
pembelajaran al-Qur’an seperti ini, tidak jauh berbeda dengan sistem pembelajaran
yang di terapkan di pesantren ayahnya di Krapyak, hampi seluruh santri mbah
Moenawwir mengikuti pembelajaran al-Qur’an yang di ajarka mbah Moenawwir. Nyai
Walidah dalam mendampingi santri sangat telaten dan lebih menitiberatkan pada makharijul
huruf, bahkan satu kaca (satu halaman) harus di ulang-ulang sampai lima
kali, artinya harus benar-benar fasich dan sesuai kaidah tajwid, baru
bisa meneruskan ke-maqra’ atau kehalaman berikutnya. Amanat mengajar
santri ini benar-benar beliau jalani dengan telaten dan istiqamah, walaupun
habis berpergian jauh dan pulang sampai larut malam, beliau tidak meliburkan aktivitas mengajarnya, melainkan
tetap mulang santri pada waktu Subuh. Berkat kesabaran dan ketelatenan Nyai
Walidah inilah, banyak para santri putri menjadi pengahafal al-Qur’an bahkan
mengikuti jejak Nyai Walidah menjadi pengasuh pondok pesantren penghafal
al-Qur’an dan Nyai Walidah berpesan kepada para santrinya “pokonya kalau
jadi bu Nyai itu, santrine kudu di tirakati”. Keistiqamah yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari, selain sebagai ibu rumah tangga Nyai Walidah adalah
mengajar santri, nderes al-Qur’an dan
membaca shalawat nariyah. Selain itu berdasarkan penuturan Bapak Kyai
Muslim putra beliau, Mbah Nyai Walidah juga berpuasa sunnah selama 2 bulan
berturut-turut (Rajab-Sya’ban) diteruskan puasa Ramadhan dan puasa sunnah Sawal
hal itu sering dilakukan.
Pada tahun 1988 Nya
walidah mengantarkan putra pertamanya (KH. ‘Ashim) lamaran ke Cirebon, namun, di
tengah perjalanan menuju Cirebon musibah menimpa Nyai walidah dan rombongan terjadi
kecelakaan yang menyebabkan terganggunya kesehatan dan kondisi badan Mbah Nyai
Walidah. Setelah kejadian itu kondisi
badan sedikit terganggu dan tidak bisa berjalan hanya dibantu dengan kursi
roda. Walaupun kondisi kesehatan Nyai Walidah yang demikian, tidak serta merta
meninggalkan aktivitas kesehariannya, beliau selalu Nderes al-Qur’an dan
terkadang mendengarkan murattalan al-Qur’an melalui kaset seperti imam
al-Ghamidi. Pada sekitar pertengahan tahun 2011 Mbah Nyai Walidah mengalami sakit yang kritis
kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Senopati Bantul dan di dampingi segenap
putra-putri beliau. Sebelum detik-detik wafatnya Nyai Walidah putra-putri
mendampinginya dengan nderes al-Qur’an.
Pada sekitar jam 07.45, hari Selasa 05 Rajab 1432 H/07 Juni 2011 M. Nyai Walidah di
panggil Allah swt. dalam
usia ke-77 tahun dan dimakamkan
di pemakaman keluarga sebelah barat pondok pesantren An-Nur putri. La’allashawab (Mohon dikoreksi kalau ada kekeliruan).
Jumat Kliwon, 3 Rajab 1438/31 Maret 2017
Abdul Kirom, M.Hum
Santri PP. An Nur Angkatan Tahun 2001
Post a Comment