Sebagaimana yang selalu diutarakan para sastrawan,
bahwa teks sastra merupakan salah satu bentuk seni yang tercipta dari
perjalanan panjang sejarah hidup manusia. Dewasa ini, kita mengenal bermacam
jenis kesenian; seni musik, seni lukis (termasuk kaligrafi), seni pertunjukan,
seni rupa, dan tentu seni sastra. Produk seni sastra adalah buku yang bisa
dinikmati dengan membacanya. Sastrawan Indonesia sudah banyak yang menulis
buku. Bahkan, bagi mereka yang menulis buku berisi kumpulan puisi, lalu
berlanjut menginisiasi untuk diadakannya pentas baca puisi.
Kehadiran buku-buku sastra di Indonesia mulanya didominasi
karya berupa novel. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan; mengapa novel
menjadi urutan pertama yang mampu memikat calon pembaca untuk kemudian serius
“menyantapnya” hingga halaman terakhir?. Jawabannya; karena novel menyajikan sebuah
kisah yang “utuh”. Novel mengenalkan tokoh di dalam cerita secara detail,
menggambarkan kondisi tempat dan juga situasi yang tengah berlangsung dengan cukup
dramatis. Tentu novel juga lebih memiliki alur cerita yang runtut melalui
episode-episode yang relatif panjang agar dapat benar-benar bisa dipahami.
Berikutnya, buku-buku kumpulan cerpen mulai banyak
muncul sebagai bentuk apresiasi terhadap cerpenis yang menghasilkan karya
bermutu tinggi. Penerbit buku Kompas termasuk yang paling sering meluncurkan
produk ini. Sebagaimana yang dapat kita lihat dari terbitnya buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas. Penerbit
Kompas rutin setiap tahun menyeleksi puluhan naskah yang telah dimuat dalam
Harian Kompas untuk kemudian diterbitkan dan didistribusikan melalui jaringan
Toko Buku Kompas di seluruh Indonesia. Disamping itu, banyak juga sastrawan
bertaraf nasional yang karya cerpennya diterbitkan tersendiri sesuai tema atau
karakteristiknya.
Penikmat buku-buku kumpulan cerpen kian bertambah
banyak dari berbagai status sosial maupun jenjang usia. Karya yang bisa disebut
bacaan “sekali duduk” ini memang menarik untuk dinikmati. Membacanya tidak
membutuhkan waktu berjam-jam, cukup sekali duduk -satu judul cerpen selesai
dibaca-. Meskipun dalam satu buku berisi sekitar 10-15 cerpen, tentu untuk
membaca semuanya sekaligus tetap memerlukan waktu lebih dari satu jam.
Pilihannya kembali pada keinginan masing-masing pembaca, bisa membacanya 1-2
cerpen saja lalu melakukan aktifitas yang lain atau langsung membaca dari judul
pertama sampai terakhir karena tersedia waktu luang yang cukup banyak.
Pada perkembangannya, teks sastra mengalami keragaman
dari segi sistematika penulisan dan wujud apresiasinya. Penulis karya sastra
terus berinovasi untuk menampilkan wajah baru teks sastra guna menyemarakkan kemeriahan
“panggung” literasi di Indonesia. Salah satu contoh untuk novel; kini penulis
tidak harus merangkai imajinasinya dari awal sampai akhir cerita baru kemudian
karyanya diterbitkan secara utuh berupa buku. Namun, dapat pula menyajikannya
dengan model bersambung, sehingga disebutlah “cerbung” (cerita bersambung).
Banyak sudah media massa yang memuat karya semacam ini, beberapa diantaranya;
SKH. Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos dan Republika.
Apresiasi sastra juga terus menampakkan kegairahannya
dengan banyak kisah novel maupun cerpen yang difilmkan. Antusias penonton dalam
merespon film-film seperti ini turut melambungkan nama para penulis. Jumpa pers
maupun undangan kehormatan untuk menjadi pembicara terus berdatangan. Bukan
saja hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke manca negara. Sudah pasti penulis
yang demikian akan memiliki kesibukan sangat padat. Maka, pada sisi inilah
dapat terlihat kesungguhan dari masing-masing penulis; apakah proses kreatifitas
menulisnya berhenti karena terbuai dengan kepopuleran, atau mampu eksis menulis
ditengah-tengah padatnya aktifitas lain yang cukup menguras energi?.
Kita
patut bersyukur karena penulis Indonesia termasuk golongan pekerja seni yang
lebih mengedepankan karya. Kepopuleran yang diperoleh dianggap sebagai hadiah
semata, tidak menjadi tujuan utama. Para sastrawan di Tanah Air tetap
mengutamakan teks sastra sebagai karya yang harus “dijaga” kualitasnya. Respon
pembaca terhadap teks sastra sangatlah tinggi. Seringkali para pembaca meresapi
rangkaian makna yang terkandung dalam setiap karya karena adanya rasa kesamaan
pada cerita maupun tokoh yang dihadirkan. Pada sisi inilah yang kemudian
disebut dengan “teks sastra menjadi cermin hidup”. Pembaca bisa belajar –mengambil hikmah- dari inti
karya sastra yang ditulis sastrawan melalui sudut pandangnya masing-masing.
Pemahaman terkait apa yang dibaca dapat berpengaruh besar dalam menyikapi
persoalan dalam kehidupan. Dampak positif yang terlihat –salah satunya- adalah
orang-orang yang kemudian memilih untuk mengucap syahadat (muallaf) setelah sebelumnya tersentuh oleh hidayah Allah Subhaanahu wata’aala “melalui” pemahaman
dan perenungan membaca teks sastra. *(Muhamad
T auf iqbali)
Post a Comment