Ads (728x90)

Technology

Lifestyle

Sports

Gallery

Random Posts

Business

Popular Posts

About US

Advertisements


“Dari pesantren aku datang, dan untuk cita-cita pesantren aku berjuang”
Demikian kalimat yang tertulis pada sampul depan buku yang berjudul; Berangkat dari Pesantren. Sebuah karya monumental yang ditulis oleh (alm.) KH. Saifuddin Zuhri, seorang ulama yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia (1962-1967). Beliau juga akademisi yang diangkat menjadi guru besar dalam bidang dakwah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini; UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1964. Beliau lahir di Sokaraja, Banyumas (1 Oktober 1919), dan wafat di Jakarta (25 Februari 1986).
Selain buku Berangkat dari Pesantren, Kiai Saifuddin menulis pula buku yang sejenis, berjudul Guruku Orang-orang dari Pesantren. Sungguh, dua buah karya yang sangat menarik untuk dibaca. Kiai Saifuddin telah membuat karya yang sarat makna. Beliau bermaksud menghadirkan nuansa pesantren yang kental dengan berbagai pelajaran penting tentang pendidikan Islam. Tentu pembaca yang mengerti pesantren akan langsung paham mengenai apa maksud dari nuansa yang ada di pesantren. Banyak hal yang patut diapresiasi atas kuatnya karakter pesantren dalam mendidik anak-anak di negeri ini. Namun, sekali lagi, nuansa pesantren hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah dan sedang menjalani hidupnya di pesantren.
Selama ini, kiai Saifuddin memang tidak begitu dikenal sebagai seorang sastrawan. Akan tetapi, sejarah merekam perjalanan hidup beliau yang gemar menulis. Bukan sesuatu yang mudah untuk bisa menulis buku setebal 750 halaman. Maka, buku Berangkat dari Pesantren merupakan salah satu bukti kalau kiai Saifuddin adalah penulis yang “serius”. Tampak dari keseriusannya tersebut, menunjukkan beliau paham bagaimana menyajikan tulisan yang menarik untuk dibaca. Karya-karyanya mengandung gaya bahasa sastra yang sangat baik. Mengalir begitu memikat, tidak sekadar menyusun kata-kata yang terkesan kaku jika dibaca.
Pada mulanya kiai Saifuddin cenderung menulis karya ilmiah, sebagaimana aktifitasnya yang lebih banyak di dunia akademisi dan birokrasi. Hingga suatu saat, datanglah Drs. H. Asrul Sani yang kemudian menyemangati Kiai Saifuddin untuk menulis dengan gaya bahasa sastra. Bagian ini diceritakan dalam pengantar buku Guruku Orang-orang dari Pesantren;

Suatu hari, datanglah menemui aku di ruang DPR, sahabatku Drs. H. Asrul Sani. Ia mengemukakan gagasannya agar aku menulis sebuah novel tentang alam pesantren, tentang orang-orang yang hidup dan berbuat sesuatu untuk dan atas nama pesantren.
Dalam bicara dari hati ke hati, aku kemukakan bahwa gagasannya sangatlah bagus. Hanya ada sedikit kesulitan bagiku, karena selama hidup aku belum pernah menulis dalam bentuk novel. Cara sahabatku ini mengutarakan gagasannya demikian bersahaja akan tetapi menarik sekali. Mulai timbul keinginanku untuk mencoba memenuhi gagasan yang diutarakan itu, apalagi setelah dibesarkan hatiku olehnya bahwa aku toh sudah pernah menulis biografi KH. Abdul Wahab Chasbullah dan lain-lain.
Berangkat dari Pesantren dan Guruku Orang-orang dari Pesantren menghadirkan realitas yang ada di pesantren. Kiai Saifuddin berusaha sebaik mungkin menuangkan buah pemikirannya tentang pesantren agar masyarakat luas memperoleh penjelasan yang cukup terkait fungsi dan peran pesantren bagi masa depan Indonesia. Berbeda dari karya sastra lainnya, karya yang dihasilkan kiai Saifuddin tidak semata-mata merangkai kalimat demi kalimat secara imajinatif. Beliau melukiskan sebuah cerita dengan lugas, ditambah kalimat yang menambah kesan dramatis, tetapi tidak sampai “terjebak” dalam penggunaan imajinasi yang terlalu dipaksakan. Sehingga, pembaca pun tidak “kehilangan” kalimat inti.
Membaca karya kiai Saifuddin, seakan kita diajak untuk bisa mengikuti jejaknya dalam menghasilkan karya yang bermanfaat. Bukan hanya mengarang (mengada-ngada) suatu cerita imajinatif yang justru menuai kontroversi dan menyesatkan. Namun, bagaimana agar kita menulis karya sastra yang inspiratif, mengandung pesan moral, dan tentu juga mengedepankan etika berbahasa yang sesuai dengan budaya masyarakat kita. *(Muhamad T auf iqbali) 

Post a Comment