Sastra Pesantren: Tradisi Nadhaman
:Seekor burung yang mencoba menggambarkan luasnya cakrawala
(Nadhom jawa Fiqh KH. Nawawi Abdul Aziz)
Syi’ir berasal dari kata As Sya’ru yang berarti puisi. (Kamus Al Munawwir, 724) atau yang kita kenal dalam bahasa Indonesia menjadi syair, yaitu puisi lama yang dahulu sering digunakan untuk berdongeng, kiasan/sindiran, cerita/hikayat, pesan-pesan agama, dan kejadian. (Hoetomo, 2005. 679). Kumpulan dari syi’ir tersebut lalu akrab kita sebut dengan nadhaman.
Tidak bisa dinafikan, kehadiran sebuah nadham dalam pesantren menjadi konstribusi riil bagi para santri untuk memudahkan dalam memahami suatu pelajaran yang disodorkan oleh para pendidik, mulai dari; Nahwu (‘imrithi, alfiyah) Ulumul Hadist (Baiquni), Tasawuf (Syu’bul Iman), Tauhid (Aqidatul Awam) bahkan fiqh, yang sekarang tidak asing lagi kita dengarkan nadhamnya didendangkan oleh para santri dan jama’ah pengajian tafsir malem selasan di masjid Ar Ridho, yaitu Nadham jawa fiqh karya Simbah KH. Nawawi Abdul Aziz.
Kesulitan-kesulitan yang dialami para santri dalam memahami suatu teks dalam bentuk eksplorasi dan deskripsi sesekali akan serasa membosankan dan menjenuhkan, karena tidak tersusun dengan diksi yang tepat dan padat, sekaligus relatif sulit dipahami tanpa pengajar. Hal tersebut ternyata sudah diantisipasi oleh Simbah Nawawi. Beliau tahu akan kejenuhan dan kebosanan para santri dan jama’ah bila terus disajikan ceramah, tanpa nada dan lagu untuk menyelingi kepenatan itu, namun bukan sebuah nada dan lagu yang tanpa makna, melainkan disajikan dalam bentuk nadhaman yang sangat indah. Jelas bahwa beliau menyusun nadham fiqh tersebut salah satu fungsinya supaya para santri dan jamaah bisa cepat memahami poin-poin dari materi fiqh.
Pesantren merupakan lingkungan yang sangat kuat dengan tradisi sastra, bermula dari nadhaman yang secara tidak langsung sudah memberi stimulus bagi sastri akan bersastra, sayang sekali bila tidak diapresiasi dengan baik dan terbuka. Terbukti bahwa tiada jenuhnya ketika pelaksanaan madrasah diniyah, para santri mendendangkan nadhaman dengan semangat teriakan yang khas –yang belum tentu dapat kita temukan di luar lingkungan pesantren, lalu ketika malam mencoba untuk dihafalkan di sudut-sudut tempat yang sunyi dan khusuk, juga di komplek-komplek yang mempunyai rutinan membaca nadhaman. Jama’ah malam selasan yang sampai sekarang sudah mencapai lebih kurang 40 tahun lamanya. Bayangkan saja, 40 tahun nadhaman jawa Simbah KH Nawawi Abdul Aziz masih dibaca dan dilestarikan. Sesuatu yang indah akan selalu dibaca dan dikaji, jadi tidak berlebihan bila Ali Syari’ati pernah mengatakan bahwa “Jika Alquran ditulis tidak dalam bentuk puisi, barangkali sekarang sudah tidak ada lagi yang membacanya.” Itu artinya, bobot sebuah pesan dan makna, sangat menentukan cara dan gaya penyampaiannya yang memiliki semangat puitika. Hal itulah yang dilakukan oleh Ibnu Malik (Alfiyah), Syarifudin Yahya (‘Imrithi), Syaikh Zainudin (Syu’bul Iman)
Nadhaman jawa Fiqh yang ditulis oleh beliau, berjumlah 122 Bait, dari ringkasan 13 Bab, yang lebih bermuara pada pokok-pokok masalah fiqh sehari-hari. Setelah melakukan pencarian tidak ada waktu secara khusus tentang keterangan waktu kapan beliau menyelesaikan nadham tersebut. Hal itulah merupakan ciri-ciri dari puisi lama yang tidak menuliskan waktu dan nama terang pengarang (anonim) dalam sebuah karya. Namun, justru di situ letak kerendah-hatian dari sosok beliau, besar kemungkinan agar tidak menjadi kesombongan di hati sekecil apapun bila karyanya terpublikasi di masyarakat.
Kepadatan redaksi merupakan keindahan tersendiri pada suatu karya puisi. Tidak hanya itu, juga keindahan bunyi liris, hingga menghasilkan rima yang padu.
Wong Mukallaf iku temtu # Wajib shalat limang wektu
Wajib mrintah anak putu # Purih shalat limang wektu
Shalat kanthi berjamah # Iku ganjarane tambah
Tikel pitulikur faedah # Tinimbang tanpo jamaah
(Bab shalat; Syarat Wajibe Shalat, bait; 19-22)
Akhiran bunyi u/u/u/u merupakan bunyi asonansi dan h/h/h/h merupakan bunyi aspiran (artikulasi konsonan hambat yang disertai letupan napas sehingga dapat didengar), kombinasinya terlihat menghasilkan orkestrasi yang merdu hingga mendapatkan liris. Bahar yang digunakan beliau mengacu pada bahar Mujtast dengan wazan mustaf’ilun fa’ilatun-mustaf’ilun fa’ilatun. Inilah proses kreatifitas beliau. Tradisi orang arab yang akrab dengan syi’ir-menyi’ir, kemudian di bawa ke masyarakat jawa dengan menyusun lewat bahasa jawa agar mudah dipahami, gaya penyampaian bahasa dan diksi pun terlihat tidak dengan menggunakan kata yang sulit dipahami/berat, melainkan dengan kosa-kata sehari-hari.
Ihsan iku lakon bagus # Tepa selira ra kementhus
Atine ikhlas lan lurus # Pengucape sarwa alus
(Bab Kang Aran Ihsan, Bait 11-12)
Dalam ilmu balaghah kita akrab dengan istilah Ijaz (mengemukakan sesuatu dengan jelas, padat dan memahamkan), kalimat Ijaz relatif tidak membutuhkan interpretasi dan tidak mempunyai tafsir ganda, karena sudah jelas. Beliau mencoba untuk memahamkan kepada umatnya tentang istilah ihsan, yaitu tingkah laku bagus, tenggang rasa, pengucapannya halus dan ikhlas. Masyarakat tidak perlu muluk-muluk dalam memaknai ihsan, yang sekarang masih jadi perdebatan berbagai golongan, namun beliau tidak memberi pemahaman yang sekiranya membuat bingung jamaah. Asumsi awal, bahwa latar belakang karya beliau ditujukan untuk orang-orang awam –termasuk saya- yang tidak perlu repot-repot memaknai agama, khususnya ihsan.
Tidak hanya sebatas itu, beliau juga menggunakan bahasa kiasan (figurative language) dalam nadhamnya, yaitu perbandingan (simile) sehingga menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angannya.
..........
Sujudo ojo kesusu # Nucuk koyo pitik klawu
Dene sahe sujud iku # Wajib mawi gauto pitu
.........
(Bab Arkanu sholat, 85-86)
Bait di atas merupakan ketelitian beliau dalam memahamkan kepada umatnya bagaimana sujud yang baik, tidak seperti ayam yang sedang mamatuk makanan. Itulah satu dari banyaknya kecerdasan dan kreatifitas beliau dalam menggunakan bahasa kiasan agar suasana jadi lebih hidup dan jelas. Tradisi pesantren merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam karya seorang sastrawan, banyak sastrawan muncul malah dari tradisi pesantren. Jadi, pesantren bukan menjadi hambatan dalam berkarya, justru secara tidak langsung malah mendukung, karena sudah sering mengenyam nadham-nadham.
Nadham fiqh karya KH. Nawawi Abdul Aziz sangatlah luar biasa agung dan hebat. Amat disayangkan bila tidak dikemas dalam bentuk yang setara dengan karya, sebagai wujud penghargaan terhadap karya sekaligus pengarangnya.
Suatu hari saya bermimpi bahwa nadham fiqh karya beliau tersebut dieksplorasi kembali dengan gaya bahasa yang lebih akomodatif oleh orang yang sangat mumpuni pada bidang fiqh, kemudian terbukukan dan tercetak, sehingga para santri dan jama’ah tidak lagi hanya sebatas membacanya, namun juga mengetahui lebih jauh apa yang dikehendaki oleh pengarangnya dalam memahami fiqh sehari-hari. Selanjutnya, tak ada burung yang bisa menembus cakrawala langit, namun percayalah bahwa semakin tinggi burung terbang, maka semakin jauh pula ia dari bumi. (Jalaludin Ar Rumi)
Post a Comment