Ads (728x90)

Technology

Lifestyle

Sports

Gallery

Random Posts

Business

Popular Posts

About US

Advertisements

pp tahfidzannur@ymail.com 01:57 A+ A- Print Email

Oleh : Komunitas Sastra Senja Pon Pes an Nur

“Sasti...segera kau selesaikan sarapan. Nanti kau terlambat ke sekolah”
“ya bu...” seperti biasa sasti harus selalu diingatkan ibu, karena anak paling bontot ini paling lemot ketika makan, dan aku paling suka meledeknya dengan cara menjulurkan lidahku. Dan sasti hanya bisa memandangku dengan jengkel.
“kau juga Jar, jangan Cuma meledek adikmu saja. Nanti kau juga bisa terlambat ke sekolah” aku hanya menjawab ibu dengan anggukan. Ah....aku jadi ikut kena teguran ibu. Sasti terlihat senyum mengejek ke arahku. Tampaknya dia Senang sekali mendapat teman senasib.
“anak zaman sekarang kalau dikasih tahu hanya diam dan mengangguk-angguk saja, tidak pernah serius menanggapi nasihat orang tua. Padahal nasihat-nasihat itu penting bagi mereka, memangnya anak bisa jadi pintar dan sukses kalau tidak karena campur tangan orang tua yang selalu mengarahkan mereka tidak akan bisa jadi orang benar. ”ah....ibu mulai khotbah pagi, setiap hari selalu seperti ini, belum afdhol jika ibu belum menjabarkan nasihat-nasihat agungnya. Aku bukannya tak mengindahkan nasihat ibu, hanya saja aku malas menanggapi. Karena jika kutanggapi akan semakin panjang saja ibu menambah khotbahnya. Dan justru karena itu aku dan sasti bisa terlambat ke sekolah. Jadi aku lebih baik memilih diam saja, lebih selamat.
“sudahlah bu....Fajar dan Sasti mendengarkan dengan baik kok. Nanti malah mereka bisa terlambat ke sekolah.” Ah....bapak selalu menyelamatkan kami dari sergapan ceramah ibu.
Rutinitas pagi yang selalu terjadi dalam keluargaku. Keluarga sederhana tapi nyaman tentram dan harmonis. Keluargaku termasuk ukuran besar jika dilihat dari anggota keluarga yang terdiri dari sepuluh orang. Aku dan adikku sasti adalah anak terakhir, sedang enam kakakku sudah berkeluarga, dan mempunyai tempat tinggal sendiri. Bapak adalah seorang penjual kain di pasar, dan ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi, aku sangat mengagumi hubungan suami istri bapak dan ibuku. Karena, walau dengan ibu yang begitu cerewetnya bapak selalu setia mendengarkannya, selalu tersenyum dan jarang ada pertengkaran di antara mereka, karena bapak selalu bisa meredam ibu jika ibu sedang emosi dan meluap-luap. Ah...hebatnya bapakku. Sedang ibu, beliau adalah wanita paling setia dan paling besar cintanya pada bapak dan kami. Dahulu ibu termasuk keturunan keluarga yang terpandang dan hidup berkecukupan. Tapi, setelah menikah dengan bapak yang hanya pekerja serabutan saat itu, kalau bukan karena saking cintanya ibu terhadap bapak, tidak mungkin hubungan mereka akan selanggeng ini hingga mempunyai anak cucu.
***
Siang yang panjang, terik matahari yang menyengat membuat seragamku basah karena keringat, selain karena sekolahku lumayan jauh dari rumah, untuk mencapai sekolah, harus di tempuh dengan naik angkot yang sebelumnya harus berjalan dari rumah menuju tempat angkot mangkal, jaraknya sekitar 100 meter.
“jar, bapak habis beli hp baru. Kamu bisa ajari bapak nggak?”
“eh, hp baru?!” aku kaget karena bapak tiba-tiba beli hp, karena hp adalah barang baru dalam keluarga kami. Bukannya aku ini katrok atau bagaimana, tapi kami anak-anak bapak belum boleh mempunyai hp sebelum kami bisa mandiri dalam hidup. Dan sekarang bapak malah membeli hp baru, tentu adalah sebuah tindakan yang mengagetkan.
“iya, kalau pakai hp lebih enak menjalin relasi bisnis bapak.” Terang bapak sambil sesekali menyeruput kopi yang dibuatkan ibu.
“oh...bisa pak. Bapak mau diajari bagaimana?”.
Jangan dikira walau aku tidak mempunyai hp terus aku tidak bisa mengoperasikannya. Justru itu, karena aku tidak mempunyai hp, aku jadi sering meminjam hp teman di sekolah. Bukan untuk sms atau telpon tidak penting. Tapi aku lebih suka mengotak-atiknya, supaya nanti kalau aku sudah boleh mempunyai hp aku tidak perlu belajar lagi.
“ya...diajari cara telpon dan kirim surat itu.” Bapak merubah posisi seperti orang yang hendak belajar privat. Sasti yang baru saja selesai makan siang ikut nimbrung di sampingku. Tentunya demi melihat barang unik yang di bawa bapak.
“maksud bapak sms tho?” kini giliran ibu duduk di sampingku, ikut penasaran dengan hp baru bapak. Apalagi ibu yang tidak pernah melihat “barang unik” itu sama sekalipun. Sepertinya sejak pertama bapak sampai rumah dan membawa “barang unik” itu ibu sudah tidak sabar untuk diperkenalkan dengannya.
“Yah...apalah namanya, yang buat surat-suratan tapi lewat hp itu.”
Akhirnya siang itu menjadi les dadakan tentang “barang unik” itu, tentang tetek bengeknya, Cara telpon, sms, hingga kalkulator agar bapak bisa lebih gampang menghitung jumlah belanja pelanggannya.
***
“sasti...sudah ibu bilang, kalau sarapan yang cak-cek jangan klemat-klemot. Masak setiap pagi harus ibu peringatkan? Bagaimana nanti kalau kau sudah punya suami?”. Pagi ini seperti biasa ibu memulai ceramah rutinnya. Sasti hanya cengar cengir mendapat teguran ibu.
“kalau sudah selesai sarapan. Segera berangkat sekolah, ibu tidak mau nanti nilai kalian jelek gara-gara terlambat sekolah. Nanti usaha ibu dan bapak sia-sia menyekolahkan kalian kalau kalian menjadi biang terlambat dan tidak serius sekolah.” Ibu menambah panjang saja ceramahnya. Biasanya ada bapak yang membela kami. Tapi sejak kemarin bapak sibuk mengutak-atik “barang unik”-nya. Membuat ibu sedikit jengkel. Karena, merasa tidak digubris bapak, dan akhirnya kami yang jadi korban kejengkelan ibu pagi ini.
Itu adalah kejadian sehari setelah datangnya “barang unik” di rumah kami.
***
Seminggu setelah kehadiran “barang unik” di rumah kami, dan setelah kursus singkat cara penggunaannya, sepertinya bapak sudah mahir mengoperasikannya. Sejak tiga hari yang lalu, tampak bapak sibuk telpon dan ber-sms dengan rekan bisnisnya. Membuat sederet nasihat ibu kepada kami jadi bertambah panjang dan semakin sering saja.
Seminggu berikutnya, Sepertinya kehadiran “barang unik” di rumah kami membuat atmosfir keluarga sedikit berubah. Ibu tidak pernah lagi memberi nasihat sebelum kami ke sekolah, aku merindukannya. Bapak pun selalu terlihat sibuk dengan barang barunya. Ibu dan bapak tidak pernah lagi terlihat bercengkrama dengan ibu selesai kami sekolah. Sampai suatu ketika kutemukan ibu menangis di kamar, beberapa menit setelah bapak berangkat kerja. Ini adalah kali pertama kutemukan ibu menangis tanpa tahu sebab yang jelas.
“ibu...” kumencoba memberanikan diri untuk menegur ibu, sungguh melihat airmata beliau membuat hatiku ikut tersayat. Kurangkul bahu ibu yang sesenggukkan, mencoba memberi kekuatan kepada ibu.
“jar... ibu... tidak tahu... harus bercerita... dengan siapa.” Ibu mengucapkannya dengan sesenggukkan. Kutunggu dengan sabar kalimat berikutnya. “bapak... jar. Ibu tidak tahu pasti tapi, tadi pagi ibu mendengar bapak menerima telpon dari seorang wanita, ibu dengar jelas suaranya, sepertinya bapak pergi menemuinya.” Jelas ibu sedikit lancar karena tangisnya agak mulai reda. Tapi, bapak? Rasanya tidak percaya. “mungkin itu relasi bisnisnya bu... “. Aku mencoba menenangkan hati ibu. “bukan jar... dari cara bicaranya terlihat sangat familiar dan sudah kenal lama, sangat intim. Bahkan bapak berbicara dengan sedikit berbisik, seperti hendak menyembunyikan sesuatu dari ibu. Dan ini bukan kali pertama ibu mempergoki bapak. Sudah tiga hari ini bapak telpon-telponan dengan wanita itu.”
Aku memutuskan untuk menyelidiki sendiri tentang kebenaran penyelewengan bapak. Tentu sepengetahuan ibu. dan demi keutuhan keluarga kami. Sasti tidak perlu tahu, hanya aku dan ibu, kakak-kakakku juda tidak perlu tahu karena akan semakin membesarkan masalah ini. Dan sudah diputuskan sore itu, setelah bapak menerima telpon dari seseorang yang kami perkirakan adalah wanita simpanan bapak, aku mengikuti bapak pergi ke tempat perjanjiannya. Sungguh tidak bisa kupercaya, hatiku terasa hancur berkeping-keping, rasanya bumi bergoncang dan aku tidak dapat berpijak dengan benar. Oh.... ibu, aku tidak dapat membayangkan hati ibu.
Aku pulang ke rumah dengan hati lunglai, ibu menyambutku dengan segera. Beliau sudah bisa membaca raut wajahku. Oh... ibu aku tidak mampu melihat air matanya.
Setelah kulihat bapak menemui seorang wanita di salah satu tempat wisata, ketika aku mengikutinya, dan kulihat ditangan wanita itu sebuah kotak kecil yang sudah dapat kuketahui apa isinya. Aku dan ibu sepakat menunggu kepulangan bapak, dan hendak meminta kejelasan tentang perihal tersebut.
“Assalamu’alaikum...” bapak datang dengan wajah sumringah. Semakin membuat hatiku dan ibu terasa tercabik-cabik.
“wa’alaikum salam... “
“wah wah.... kebetulan sekali ibu dan fajar sudah berkumpul, dimana sasti aku ingin memberitahu sesuatu kepada kalian.” Bapak sepertinya tidak membaca ekspresi wajahku dan ibu. aku dan ibu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hatiku semaikn remuk redam, bapak hendak membagi keluarg kami. Aku tahu itu. Bapak memutuskan memanggil sasti yang berada di dapur.
“sasti... kemari nak...”
“ada apa pak?” sasti yang tidak tahu menahu perihal perselingkuhan bapak mendekat dan duduk di samping bapak. Oh... adekku, sebentar lagi kamu akan mendapat berita yang menyakitkan.
“nah...mumpung sudah berkumpul semua, bapak hendak memberi sebuah kejutan.” Bapak memberi jeda kalimatnya, menunggu ekspresi kami, tapi sepertinya hanya sasti yang terlihat tertarik. Kulihat ibu, menahan nafas, mencoba menguatkan diri menerima kenyataan.
“bapak tahu, bapak bukan seorang kepala keluarga yang baik, bapak tidak mampu memberikan sesuatu yang layak untuk ibu, fajar, sasti. Bapak juga bukan seseorang yang mampu menjadi panutan yang baik. Tapi bapak hanya mampu memberikan apa yang bapak yakini benar, dan baik untuk kalian semua.” Bapak berhenti sejenak. Kulihat setitik air menggantung di pelupuk mata ibu. sepertinya bapak tidak terlalu memperhatikannya.
“ibu... hanya inilah yang dapat bapak berikan, “ bapak mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong celananya. Ya Allah... itu adalah kotak yang kulihat tadi, kotak yang ada di tangan wanita yang ditemui bapak. Apa maksud bapak? Ibu, kulihat ibu, kelopak matanya tidak mampu lagi menahan air mata yang jatuh.
“lho ibu kok nangis, ibu lupa? Ini hari pernikahan kita. Bapak ingin memberi sedikit untuk ibu. apa ibu tidak suka? Bapak ingin cincin ini ibu pakai, menggantikan cincin pernikahan kita yang sudah usang itu. Ibu simpan saja yang dulu, dan ganti dengan ini. Apa ibu tidak suka?”
Loh... loh... ya Allah... kedua kalinya aku dan ibu dibuat terkejut oleh kata-kata bapak. Kali ini ibu memeluk bapak dengan rasa cinta yang teramat sangat dengan air mata yang semakin deras mengalir dari pelupuk matanya. Aku pun tidak mampu menahan perasaanku, aku ikut menitikkan airmata. Bapak sedikit bingung, melihat ibu dan aku menangis. “ibu suka pak, sangat suka” jelas ibu disela isak tangisnya.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, tetap menjadi rahasiaku dan ibu. kami pun tidak memerlukan penjelasan bapak tentang wanita yang ditemuinya, kejutan bapak sudah memberi jawaban semua pertanyaan kami. Kehidupan kami kembali normal seperti sedia kala.
“Jar!! Ini bagaimana caranya membuka?” ibu mendekatiku dengan membawa hp baru-nya, beberapa hari yang lalu ibu minta dibelikan hp oleh bapak, dengan alasan agar ketika ibu kangen atau ada perlu dengan bapak ketika bapak sedang kerja,  ibu tetap bisa menghubungi bapak. Tapi ini sedikit menggangguku. Karena, mengajari ibu, tidak segampang mengajari bapak.
“fajar! Ini bagaimana?ditanya malah melamun.”
“iya bu... sabar.”
Oh...keluargaku, aku selalu mencintai setiap hembusan nafasnya.

PS: untuk the great woman, judul ini untukmu.

Post a Comment