Created by : D’illusioner
Huh mengapa aku hidup di jaman modern?kalau harus menyandang nama kuno,yang kalau sekarang masih hidup munkin umurnya sudah puluhan tahun atau munkin ratusan tahun...Pertanyaan ini selalu terbesit dalam pikiranku, saat teringat dengan namaku.
Aku malu, saat kenalan dengan orang dan dia tanya nama terus bingung mau pangggil apa dari kata ”soekarno” mau dipanggil “su” seperti ngomong kasar, ”kar” nggak enak “no” kayaknya ndeso banget, ya mau nggak mau komplit soekarno....
Apalagi temen-temenku di sekolah, di lingkungan rumah. uh...kayaknya aku yang paling primitif namanya. Nama–nama mereka begitu modern, Rendy, Boy, Zaky, Reno, Dino, dan sebagainya.
Ya beginilah nasib anak seorang mantan pejuang kemerdekaan. Ayahku memberi nama Soekarno karena obsesinya dengan kegagahan, kepandaian, dan keterwibawaan bapak presiden RI pertama. Anaknya lah yang jadi korban, di tuntut supaya jadi seperti sosok Bapak Proklamator.
“Soekarno, kamu itu menyandang sebuah nama yang begitu hebat, nama seorang maestro yang memperjuangkan negara kita...”
“hem...” aku nggak mau komentar ntar ujungnya debat nggak selesai-selesai.
“Lho kok hem..., kamu harusnya bangga beliau pandai berpolitik, bermasyarakat, bertatanegara, beliau yang memperjuangkan kita lho... ”
“iya Yah..., itu dulu dan itu beliau,dan soekarno yang sekarang adalah soekarno yang malu karna namanya paling kuno diantara temen-temen, paling bribet kalau dipanggil, yang nggak pinter berbagai hal dan yang pasi bukan soekarno sang pahlawan , sang presiden negara.”
Aku muak, penat dengan pikiran-pikiran tentang namaku yang singkat tapi begitu panjang menimbulkan konflik di hatiku. Aku lari ke kamar tak mengubris lagi omongan ayah. “Kenapa harus malu , seharusnya dengan nama itu kamu bisa jadi seperti beliau.” perkataan ayah masih terdengar dari kamar. Tapi aku tak mau menaggapi selama ini aku cukup menderita diejek teman-teman karna nama ndeso ini.
###
Di sekolah
Nggak di rumah nggak di sekolah sama aja. Ya munkin emang ketepatan atau emang takdir, pelajaran sejarah hari ini temanya perjuangan tepatnya membahas sang proklamator ”soekarno” huh... bosen.kayaknya aku sudah hafal di luar kepala deh.
“ya itulah sejarah singkat bapak proklamator kita” ibu guru mengakhiri penjelasanya.
“seperti temen kita ini yang menyandang nama beliau . dia begitu menghormati nama orang besar enggan menunjukan prestasinya yang gemilang.” semua anak bersiul-siul mengejek.aku ingin lari meninggalkan kelas rasanya.
“kalian jangan menganggap nama itu kuno, jangan lihat singkat namanya tapi lihat makna dan sejarah dari seorang yang pernah menyandang nama itu, dan bagaimana orang yang menyandang nama itu sekarang.” suara ibu guru agak meninggi munkin karna melihat aku yang hanya diam acuh di ejek anak-aanak, melihat ekspresiku yang nggak bangga terhadap nama itu.
Anak-anak terdiam.aku melihat raut kecewa di wajah ibu Ratna, beliau berdiri di sampin mejaku “soekarna, ibu bangga dengan mu, kamu menyandang nama orang besar dan kamu pun bertanggung jawab atas itu dengan kamu menunjukan banyak prestasi, tapi ibu kecewa saat kamu malu atas nama k unomu itu.” Aku ingin berteriak dan membalas omongannya ”itu beliau bukan aku” tapi kuurungkan. aku terdiam ,kuputar pikiranku, memikiran semua ucapan Bu Ratna.
Aku memang malu dengan nama itu tapi saat mengikuti pelajaran sejarah yang bertemakan perjuangan selalu saja terbesit dalam pikiran ”mengapa harus malu beliau begitu hebat” saat malas belajar pun, nama itu yang mengingatkan ku untuk terus belajar ”masa soekarno bodoh” saat nyontek, saat mau berbuat nakal nama itu juga yang mengingatkan ku untuk tidak melakukannya. Nama itu juga yang membawa keberhasilan buat ku, terus mengapa aku harus malu..?”
Tanpa kusadari bu Rantna telah menutup pertemuan hari ini, dan keluar ruangan Arang lain bangga, mengapa aku benci? Aku hampi saja mencoreng nama ini. Aku teringat ayahku yang begitu bangga dengan nama ini, yang bangga dengan anaknya yang tidak memalukan namaini.
Aku benar- benar merasa bersalah, ”apa yang ku lakukan tadi malam?”
Aku berlari terus berlari hingga sampai didepan rumah. Kulihat ayah yang duduk di teras depan rumah,sambil memandangi foto Bapak Proklamator.aku tak kuasa menahan air mata dan aku taksanggup untuk bicara aku hanya bersimpuh di kakinya...
Aku malu, saat kenalan dengan orang dan dia tanya nama terus bingung mau pangggil apa dari kata ”soekarno” mau dipanggil “su” seperti ngomong kasar, ”kar” nggak enak “no” kayaknya ndeso banget, ya mau nggak mau komplit soekarno....
Apalagi temen-temenku di sekolah, di lingkungan rumah. uh...kayaknya aku yang paling primitif namanya. Nama–nama mereka begitu modern, Rendy, Boy, Zaky, Reno, Dino, dan sebagainya.
Ya beginilah nasib anak seorang mantan pejuang kemerdekaan. Ayahku memberi nama Soekarno karena obsesinya dengan kegagahan, kepandaian, dan keterwibawaan bapak presiden RI pertama. Anaknya lah yang jadi korban, di tuntut supaya jadi seperti sosok Bapak Proklamator.
“Soekarno, kamu itu menyandang sebuah nama yang begitu hebat, nama seorang maestro yang memperjuangkan negara kita...”
“hem...” aku nggak mau komentar ntar ujungnya debat nggak selesai-selesai.
“Lho kok hem..., kamu harusnya bangga beliau pandai berpolitik, bermasyarakat, bertatanegara, beliau yang memperjuangkan kita lho... ”
“iya Yah..., itu dulu dan itu beliau,dan soekarno yang sekarang adalah soekarno yang malu karna namanya paling kuno diantara temen-temen, paling bribet kalau dipanggil, yang nggak pinter berbagai hal dan yang pasi bukan soekarno sang pahlawan , sang presiden negara.”
Aku muak, penat dengan pikiran-pikiran tentang namaku yang singkat tapi begitu panjang menimbulkan konflik di hatiku. Aku lari ke kamar tak mengubris lagi omongan ayah. “Kenapa harus malu , seharusnya dengan nama itu kamu bisa jadi seperti beliau.” perkataan ayah masih terdengar dari kamar. Tapi aku tak mau menaggapi selama ini aku cukup menderita diejek teman-teman karna nama ndeso ini.
###
Di sekolah
Nggak di rumah nggak di sekolah sama aja. Ya munkin emang ketepatan atau emang takdir, pelajaran sejarah hari ini temanya perjuangan tepatnya membahas sang proklamator ”soekarno” huh... bosen.kayaknya aku sudah hafal di luar kepala deh.
“ya itulah sejarah singkat bapak proklamator kita” ibu guru mengakhiri penjelasanya.
“seperti temen kita ini yang menyandang nama beliau . dia begitu menghormati nama orang besar enggan menunjukan prestasinya yang gemilang.” semua anak bersiul-siul mengejek.aku ingin lari meninggalkan kelas rasanya.
“kalian jangan menganggap nama itu kuno, jangan lihat singkat namanya tapi lihat makna dan sejarah dari seorang yang pernah menyandang nama itu, dan bagaimana orang yang menyandang nama itu sekarang.” suara ibu guru agak meninggi munkin karna melihat aku yang hanya diam acuh di ejek anak-aanak, melihat ekspresiku yang nggak bangga terhadap nama itu.
Anak-anak terdiam.aku melihat raut kecewa di wajah ibu Ratna, beliau berdiri di sampin mejaku “soekarna, ibu bangga dengan mu, kamu menyandang nama orang besar dan kamu pun bertanggung jawab atas itu dengan kamu menunjukan banyak prestasi, tapi ibu kecewa saat kamu malu atas nama k unomu itu.” Aku ingin berteriak dan membalas omongannya ”itu beliau bukan aku” tapi kuurungkan. aku terdiam ,kuputar pikiranku, memikiran semua ucapan Bu Ratna.
Aku memang malu dengan nama itu tapi saat mengikuti pelajaran sejarah yang bertemakan perjuangan selalu saja terbesit dalam pikiran ”mengapa harus malu beliau begitu hebat” saat malas belajar pun, nama itu yang mengingatkan ku untuk terus belajar ”masa soekarno bodoh” saat nyontek, saat mau berbuat nakal nama itu juga yang mengingatkan ku untuk tidak melakukannya. Nama itu juga yang membawa keberhasilan buat ku, terus mengapa aku harus malu..?”
Tanpa kusadari bu Rantna telah menutup pertemuan hari ini, dan keluar ruangan Arang lain bangga, mengapa aku benci? Aku hampi saja mencoreng nama ini. Aku teringat ayahku yang begitu bangga dengan nama ini, yang bangga dengan anaknya yang tidak memalukan namaini.
Aku benar- benar merasa bersalah, ”apa yang ku lakukan tadi malam?”
Aku berlari terus berlari hingga sampai didepan rumah. Kulihat ayah yang duduk di teras depan rumah,sambil memandangi foto Bapak Proklamator.aku tak kuasa menahan air mata dan aku taksanggup untuk bicara aku hanya bersimpuh di kakinya...
Post a Comment