Ramadhan telah bertandang. Semua
menyambutnya dengan sangat bahagia, memang karena ia sangatlah istimewa. Dari
sisi dzatiyyah Ramadhan sendiri yang diistimewakan Allah dibandingkan
bulan selainnya, atau dari sisi manusia yang memang benar-benar rindu dengan
hawa Ramadhan, walau dengan motif beragam, tapi yang jelas semuanya memancarkan
aura bahagia dan itu semua sangat terasa luar biasa.
Allah, ballighnaa fiih, wa bi barkatihii baarik lanaa.
Syari’at puasa Ramadhan yang termaktub
dalam QS. Al-Baqoroh ayat 183 redaksi ujungnya adalah لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ . dalam satu versi pemaknaan lafaz tersebut diartikan “agar
ketakwaan kalian meningkat”, bukan ‘‘agar kalian menjadi orang bertakwa’’.
Mengapa demikian?. Karena jika
menggunakan arti kedua mengandung makna bahwa orang yang kesehariannya
melaksanakan sholat, menunaikan zakatnya, dan ibadah semacamnya namun ia tidak
berpuasa maka ia bukan termasuk golongan orang bertakwa hingga ia melaksanakan kewajiban
puasa tersebut. Artinya, segenap ibadahnya yang lain bukan merupakan haliyah
muttaqin hingga ia berpuasa.
Namun jika dimaknai dengan ‘‘agar
ketakwaan kalian meningkat’’, mengandung arti bahwa keseluruhan amal ibadah
seseorang tersebut sudah menunjukkan haliyah ketaqwaan. Selain itu, dengan
melaksanakan kewajiban puasa mengindikasikan tingkat ketakwaan seseorang itu
bertambah. Mengapa demikian?. Sebab hakikat puasa adalah menahan, menjaga diri
dari segala yang membatalkan secara dzohir dan meredam nafsu dari segala yang
dapat mengurangi nilai ibadahnya secara batin.
Penggambaran lain adalah berubahnya
jadwal harian, di mana ketika masuk bulan Ramadhan ada dorongan kuat untuk
bangun lebih awal guna melaksanakan sahur dan qiyamul lail. Malamnya selepas
sholat Isya’ dilanjutkan dengan sholat tarawih, i’tikaf dan segala bentuk
ibadah yang mungkin hanya sekali-dua kali dilaksanakan jika di luar Ramadhan.
Nah, di situlah istimewanya, segala ibadah yang mungkin terasa
berat menjadi lebih ringan ketika berada dalam naungan Ramadhan. Dengan
kualitas dan kuantitas ibadah yang semakin intens tentu menjadikan “poin”
seorang hamba di hadapan Allah bertambah. Singkatnya, tingkat ketakwaan
seseorang bertambah ketika ia melaksanakan puasa dan ibadah Ramadhan.
Konsistensi ibadah Ramadhan itu
hendaknya dijaga. Maka Rasulullah mengajarkan; setelah menggenapkan ibadah
Ramadhan sebulan dan merayakan hari kembali menjadi fitri, dianjurkan untuk
melaksanakan puasa sunnah Syawal 6 hari. Selanjutnya, menjaga semangat Ramadhan
itu dengan puasa senin-kamis dalam skala mingguan, dan berpuasa ayyamul bidh
(tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriyyah) sebagai rutinitas bulanan,
serta amaliyah ibadah lainnya yang menjadi jadwal harian ketika berpuasa.
Pada intinya, puasa merupakan sebuah
fase penyucian diri. Karenanya dianjurkan pula untuk saling memohon dan memberi
maaf kepada sesama sebelum masuk bulan Ramadhan, walaupun umumnya -yang berlaku
saat ini- adat bermaafan itu dilaksakan pada saat hari raya. Namun hal itu juga
dibenarkan, karena hakikatnya manusia adalah tempatnya salah dan lupa, sehingga
sangat dianjurkan untuk sesegera mungkin dan sesering mungkin memohon dan
memberi maaf, sehingga dosa terhadap sesama menjadi terhapus. Adapun
tuntunannya pada saat idul fitri sembari bersilaturrahmi, hendaknya juga saling
mendo’akan agar ibadah selama Ramadhan diterima, sebagaimana yang umum
diucapkan ketika berlebaran adalah;
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
جَعَلَنَا اللهُ وَ إِيَّاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَ الفَائِزِيْنَ
“Semoga Allah menerima ibadahku dan ibadahmu, serta
menjadikanku juga dirimu termasuk golongan orang-orang yang kembali menjadi
fitrah dan golongan orang-orang yang beruntung”.
Sebuah filosofi hebat tentang puasa
Siapa yang tak tau ulat? Bagaimana
bentuknya? Apa pekerjaannya?. Sebagian besar orang tidak suka, baik dari segi
fisiknya, maupun perbuatannya yang memakan dedaunan karena itu merugikan; misal
bagi para petani. Sampai kapan ia menjadi seperti itu? إلى أجل مسمى , sampai pada
batas tertentu hingga ia berada pada fase berpuasa, yaitu menjadi kepompong.
Dan ‘‘puasa’’ ulat itu luar biasa, dalam sebuah rumah yang tak berpintu dan tak
berjendela, sekian lama. Adakalanya seminggu, dua minggu, hingga batas tertentu
ia keluar dari pertapaannya dalam bentuk yang mempesona. Ia menjadi kupu-kupu,
indah warnanya, dinanti hadirnya karena membawa manfa’at seperti dalam proses
penyerbukan. Ia dikoleksi sebagai pajangan di dinding rumah-rumah. Intinya,
semula ia yang dulunya tak disukai setelah melalui fase ‘’berpuasa’’, maka ia
bertransformasi menjadi sesuatu yang dicintai. (Nur Dania)
*Disarikan dari ngaji-kuliah Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA
(Senin, 22 Mei 2017).
Post a Comment