Ads (728x90)

Technology

Lifestyle

Sports

Gallery

Random Posts

Business

Popular Posts

About US

Advertisements

pp tahfidzannur@ymail.com 23:06 A+ A- Print Email

Kegelisahan singgah dihatiku. Sudah satu minggu aku menanti kepastian dari Bapak. Antara boleh atau tidaknya aku pergi menuntut ilmu. Sanggup atau tidak sanggupnya membiayai anaknya hidup di pondok pesantren. Apalagi pondok pesantren yang kuinginkan adalah pondok pesantren An Nur yang berada di daerah Jogja. Sedangkan rumahku terletak di jawa tengah, tepatnya kota Semarang. Lumayan jauh kan?. Terlebih, desaku berada di lokasi paling ujung, atau dapat pula dikatakan pelosok. Memang, sejak dulu keinginan itu selalu muncul. Bahkan, ketika aku baru saja lulus dari Sekolah Dasar. Namun, aku bisa memahami dan memaklumi kondisi keluarga. Sebab, pada masa sekarang, biaya yang dibutuhkan untuk mondok di pesantren tidaklah sedikit.

Waktu terus bergulir. Kini aku telah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Walau bagaimanapun, aku harus memberanikan diri bertanya pada Bapak. Akankah aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di pesantren. Atau ada rencana lain yang terbersit dalam pikiran ayahku. Ah, rasanya sudah tidak sabar lagi untuk segera pergi menimba ilmu. 


“Pak...!.” Kuhampiri Bapak yang sedang berada di belakang rumah, beliau terlihat sibuk mengkoordinir ayam-ayamnya agar segera masuk ke kandang.
“Ono opo nok, kok kayane coyone rodo lesu...?”. jawab Bapak dengan berbalik mengajukan pertanyaan karena melihat keadaanku yang lagi tidak karuan dan ketar-ketir menunggu kepastian dari bapak.
“Mbenjeng sampun dinten sabtu, sios mboten, ndugeake kulo mondok?”. Tanyaku hati-hati, dengan bahasa jawa yang sedikit halus.
“Oh iyo, koe isih pengen mondok banget yo...! pancen winginane aku wis janji arep ngeterke koe yen ono rizki. Nanging, bibit surene Bapak durung payu-payu. Yo wis, ora opo-opo. Sesok motore bapak sing wis lawas didol wae, kanggo daftarke koe mondok ning An Nur. Senajan ming setitik, sing penting cukup. Masalah sesok-sesok ora usah dikhawatirno, rezeki iku wis ono sing ngatur.”
Satu minggu telah berlalu. Dan alhamdulillah, akhirnya membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Rasa haru, sedih, bahagia campur jadi satu. Bahagia, karena tercapainya impianku, mondok dan menjadi penghafal Al Qur’an. Rasa haru atas dukungan serta pengorbanan yang tak terrnilai dari Bapakku. Rasa sedih yang menggelayuti langkah-langkah kepergianku, sebab harus berpisah dengan kedua orang tuaku, adik-adikku dan juga teman-teman di desa. Tetapi aku sudah memiliki tekad yang kuat. Meski hanya membawa bekal seadanya, aku yakin bahwa Allah akan selalu melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada hamba yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Amin. 
*****
Bismillahirrahmaanirrohiim
Pagi yang cerah, aku dan Bapak segera menaiki bis jurusan Semarang-Jogja yang sudah siap untuk berangkat. Ibu dan adik-adikku terpaksa tidak bisa ikut. Mungkin karena uangnya mepet dan tidak cukup kalau untuk membayari satu keluarga. Selama dalam perjalanan aku tak banyak bicara. Selain perut yang rada-rada mual, pikiranku juga terus membayangkan situasi pondok pesantren. Wah...bagaimana rasanya ya, jadi pingin cepet-cepet nyampai. Pasti disana banyak teman-teman dari berbagai kalangan, saling berbagi cerita, tolong menolong dan yang lain sebagainya.
“Nok!!!, ojo ngelamun wae, ayo mudun, iki lho wis arep tekan pondok”. Ajak Bapak membuyarkan lamunanku.
“Pondo’e sing pundi to pak!” Tanyaku penasaran setelah kami turun dari bus jurusan Samas.
“Mlaku ngetan sitik, terus ngalor!” Jawab Bapak sambil mengajakku berjalan menuju ke lokasi pondok pesantren.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga”.
“O...ini to pondoknya, lumayan besar juga ya”. Batinku saat kami berdiri tepat di depan pondok. Detik berikutnya, Bapak langsung mengajakku sowan ke ndalemnya pengasuh sebagai salah satu syarat untuk dapat masuk ke pondok pesantren. Setelah kami sowan dan mendapat restu dari pengasuh, kami segera menuju kantor putri guna mengurus pendaftaran.
“Assalamu’alaikum...”. ucap Bapak kepada seorang gadis berjilbab di depan kantor. Tangan kanannya terlihat memegang Al Qur’an berukuran mini.
“Wa’alaikum salam, mari-mari silahkan masuk”. Jawabnya ramah seraya mempersilahkan kami masuk ke dalam kantor”.
“Menawi bade daftarake santri baru, wonten mriki nggeh mbak?”. Tanya Bapak dengan bahasa jawa”.
“Inggih pak, leres”. Jawabnya, dan kali ini sambil tersenyum manis padaku.
*****
Sudah dua hari aku berada di pondok. Rasanya masih begitu asing, aneh, sedih, kangen sama Bapak, Ibu, adik dan teman-teman. Pokoknya, kangen suasana rumah. Hik-hik-hik... jadi ingin nangis. Ternyata, mondok tidak seenak yang kubayangkan. Tapi untunglah, mbak yang pertama kali menerimaku di pondok ini selalu menghibur dan menemani aku. Kebetulan dia juga lurah pondok. Namanya Qumil Laila. Katanya, kalau memanggil cukup dengan sebutan mbak Ella saja.
“Dik. Jangan melamun terus, nanti nggak krasan-krasan lho...”. Sapanya, saat memergoki aku yang sedang bengong di depan kamar Al Hikmah 4. Kamar dimana aku menetap. Dan merupakan komplek yang khusus dihuni oleh para santri tahfidz.
“Hore...!, mengko bengi malem jum’at, wah iso ndelok lomba-lomba maneh”.
“Opo to, lombane mengko bengi?”
“Drama karo Al Barzanji nek ora salah”
“Ngawur, sing bener Parade Iklan, ST lo...!”
Aku mendengar percakapan anak-anak kamar yang selalu ekstra dalam hal apapun. Meski aku berada di luar kamar, tapi suara mereka sangat jelas di telingaku. Wajar saja, sebab suaranya melebihi volume radio paling keras sekalipun, he...he.... 
“Memangnya, di pondok juga diadakan lomba-lomba seperti yang ada di luar pondok mba’?” Tanyaku pada mba’ Ella.
“Iya, dua tahun sekali pondok ini mengadakan lomba untuk merayakan Harlah pondok pesantren. Dan sekarang adalah Harlah yang ke XXXII. Nanti malam nonton sama aku ya, di depan musholla!”. Ajaknya dengan penuh perhatian.
*****
Tet...tet...tet...
Wah, sudah jam setengah empat. Itu suara bel dari pengasuh sebagai isyarat agar para santri segera bangun. Kemudian, sayup-sayup terdengar lantunan Asma’ul Husna. Hmm... siapa ya kira-kira yang membacanya, suaranya begitu merdu dan syahdu. Saatnya bangun ah..., kuambil air wudhu dan segera beranjak ke musholla. Masih ada waktu untuk sholat Tahajud sebelum adzan Subuh berkumandang. Kulihat banyak mbak-mbak yang sedang nderes. Mungkin mereka lagi mempersiapkan setoran atau hanya sekedar mengulang hafalan Qur’an-nya. Aku tidak tahu persis, yang pasti aku ingin sekali seperti mereka. Menjadi santri tahfidz yang rajin, bersungguh-sungguh dan berjiwa Qur’ani. Tapi, kapan aku bisa masuk tahfidz?. Sedangkan binnadzor saja kadang masih sering salah, belum benar betul. Namun, aku harus terus berusaha semaksimal mungkin. Suatu saat nanti, pasti aku mampu meraihnya.
*****
Setelah tiga bulan berada di pesantren, sedikit banyak aku sudah semakin paham tentang kehidupan disini. Ternyata, di pesantren tidak cuma belajar mengaji saja, akan tetapi juga melatih santri dalam bidang organisasi, kemandirian, kedewasaan, menumbuhkan sikap bijak ketika menghadapi perbedaan, dan yang paling pokok adalah selalu sabar dalam menerima berbagai cobaan. Seperti yang kualami saat ini. Harus sabar menahan rinduku pada keluarga, sanak saudara, atau mengenai kiriman uang dari Bapak yang tak kunjung tiba. Walau bagaimanapun, aku mesti tetap bersabar, karena aku yakin jika bapak pasti sudah berusaha untuk mencari nafkah, meski seringkali keberuntungan belum memihak kepadanya. 
“Ya Allah, kuatkanlah hambamu dalam menghadapi segala cobaan dan setiap apapun yang Engkau tentukan. Jika memang jalan seperti ini yang dapat mengantarkanku pada kesuksesan, maka tegarkanlah aku untuk menjalaninya”.
“Zah, Zahro”. Terdengar suara mba’ Ella yang memanggilku. 
“Ada apa mba’?” Tanyaku setelah berada dihadapannya.
“Katanya kamu mau masuk tahfidz, mendingan sekarang sowan atau matur ke Bu Nyai, biar tidak mengulur-ngulur waktu”. Saran mbak Ella.
Setelah sowan ke Ibu Nyai Farchah, ada kepastian kalau aku bisa masuk tahfidz. Dan tentu saja, nanti malam aku harus mengikuti test terlebih dahulu. Kalau lulus, baru deh aku bisa mulai mengikuti kegiatan santri tahfidz. Rasanya deg-degan nih, takut sekaligus gemetar.
“Kira-kira bisa lulus nggak ya mba’?”
“Yakinlah bahwa kamu pasti bisa, berdoalah!!!”. Saran mbak Ella lagi, membangkitkan semangatku untuk terus maju dan tabah mencapai tujuan.
*****
“Hik...hik...hik...”
“Lho, kok nangis, gimana testnya tadi?”. Tanya mbak Ella yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku.
“Itulah mbak, Zahro nggak lulus, Zahro sedih banget, Zahro jadi pingin pulang!”. Pintaku dengan menahan isakan tangis yang menyedihkan.
“E...e...e..., jangan putus asa, di coba lagi aja, sudah biasa kalau test pertama nggak lulus. Banyak kok mbak-mbak yang bisa masuk tahfidz setelah menjalani tets lebih dari tiga kali. Sekarang, tenangkan dulu pikiranmu. Satu atau dua minggu kedepan kamu boleh mencoba lagi.
*****
“Meong...meong...meong”. wah, ada suara kucing. Seneng banget nih, bisa buat hiburan. Emmm..., jadi teringat Salsa, adikku dirumah yang suka sama kucing.
“Pus...pus...”. Aku menghampirinya sembari mengelus-elus hidungnya yang lucu.
“Zahro suka kucing ya...?.” Tanya mbak Wasil, teman sekamarku.
“Iya mbak”. Jawabku singkat, karna belum terbiasa ngobrol, masih malu-malu sih. Maklum, aku kan masih santri baru, jadi belum terlalu akrab. 
“Zah, nanti malam coba ikut test lagi ya...!” Tawar mbak Ella yang baru datang dari kantor.
“Ingat, tenangkan pikiran, pelan-pelan, tidak usah grogi dan jangan lupa berdoa, Ok”. Lanjut mbak Ella.
“Makasih ya mbak, Isya Allah akan Zahro coba”. Sahutku.
*****
Malamnya, selesai mengikuti test.
“Alhamdulillah”, senangnya hatiku. Rasa bahagia menyelimutiku, bahkan mampu mengalahkan kebahagiaan-kebahagiaan yang lain.
“Mbak Ella, Zahro lulus. Makasih ya, atas saran-saran yang mbak kasih ke aku.”
“Syukurlah kalau begitu, mbak Ella ikut senang. Kini, kamu tinggal menata diri, mempersiapkan mental, karena menghafal Al Qur’an itu butuh perjuangan dan banyak cobaannya. Hati dan pikiran harus selalu di jaga”. Kata-katanya terhenti sejenak, namun tetap tersenyum. Senyum yang manis sekali.
“Kalau begitu, selamat ya, dan... O iya, kebetulan ada yang mau mbak sampaikan. Tapi Zahro nggak usah kaget. Begini, mbak Ella disini kan sudah lama, sudah saatnya meneruskan perjuangan ke tempat yang lain.”
Aku belum paham benar apa maksud dari ucapan mbak Ella. Mungkin mbak Ella mau pulang ke rumah sebentar, atau mungkin jangan-jangan...
“Zah, mbak harus boyong. Sudah saatnya mbak Ella meninggalkan pesantren ini, dan itu merupakan keputusan dari orang tuaku yang tidak dapat diganggu gugat.” 
‘Glek’. Tanpa terasa aku menelan air liur. Bibirku tak mampu berucap. Lidahku kelu. Entah seperti apa perasaanku saat ini, sedih, kecewa dan tak berdaya (ceile..., kayak di tinggal pacarnya saja). Selama ini, hanya mbak Ella yang paling aku kenal di pondok. Ia begitu perhatian. Selain itu, aku juga sudah merasa sangat cocok dengannya. Tapi mau bagaimana lagi, itu sudah menjadi keputusannya.
“Kok diam Zah?.” Tanyanya singkat.
“Entahlah mbak, aku sedih banget. Dengan siapa lagi aku bisa mencurahkan isi hatiku, bahagiaku, juga sedihku.”
“Zahro tidak boleh seperti itu. Ingat, teman tidak hanya satu, banyak sekali teman yang baik, pinter dan lebih perhatian daripada mbak Ella. Zahro Cuma belum tau saja, karna pasti belum kenal. Dan untuk hal mengadu kesedihan serta kebahagiaan, Allah lah yang lebih berhak dijadikan “teman” sejati. Yang terpenting, sekarang Zahro dah masuk tahfidz, jadilah seorang hafidzoh yang berhati mulia, menjadi wanita shalehah. Jangan hanya sekedar menyandang titel hafidzoh saja, sebab yang paling utama ialah sikap dan kepribadian kita. Kamu adalah generasi An Nur yang aku banggakan. Aku ingin agar kamu sanggup membawa harum nama pesantren kita!!.” Nasehatnya panjang lebar, membuatku semakin terharu. Aku masih tetap diam tak berani bertanya, kapan mbak Ella pergi. Kapan pun ia pergi, aku harus bisa menerima kenyataan. Aku mesti menyadari jika semua yang ada di Bumi ini tidak akan pernah abadi.

‘Ismatul Lailiyyah
Al Jadidah ~ Magelang.

Post a Comment